Esposin, SRAGEN — Tim gabungan Pemkab Sragen akan menertibkan t
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Para pengusaha pemecah batu itu dinilai meresahkan warga sekitar dan belum mengantongi izin dari Pemkab setempat.
Kasi Penegakan Perda Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sragen, Indon Baroto, saat ditemui
Indon mendapatkan data pernyataan sikap dari lima orang pengusaha pemecah batu. Tiga pengusaha di antaranya berasal dari Dukuh Sunggingan RT 005, Desa Jambeyan dan dua pengusaha lainnya berasal Dukuh Plosorejo RT 005, Desa Sepat, Kecamatan Masaran.
“Laporan dari Jambeyan ada lima pengusaha pemecah batu yang tidak berizin dan dua pengusaha di Masaran. Kami memiliki bukti surat pernyataan bermeterai Rp6.000. Dalam surat pernyataan itu pengusaha yang bersangkutan sudah bersedia pindah lokasi pada 20 Agustus lalu tetapi sampai sekarang ternyata masih beroperasi,” kata Indon.
Dia menyampaikan debu akibat usaha pemecah batu dengan mesin itu menjadi pemicu keresahan warga sekitar. Indon pun sempat mengalami gangguan pernapasan saat meninjau lokasi usaha pemecah batu itu.
“Ternyata usaha itu sudah berjalan selama empat tahun. Nah, sekarang Pemkab sudah ada perdanya. Kami hanya menegakkan perda agar para pengusaha mengurus izin ke Pemkab. Tentu ada retribusi dan pajak atas usaha itu yang bisa menambah pendapatan asli daerah,” katanya.
Indon bersama tim gabungan dari Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM), Dinas Pekerjaan Umum DPU), Badan Lingkungan Hidup (BLH), dan Bagian Hukum Setda Sragen berencana menertibkan usaha tersebut pada pekan depan.
Ketua paguyuban peduli lingkungan hidup Jambeyan, Sambirejo, Anis Mulyono, mengaku ada 7-8 usaha di tengah permukiman di Jambeyan. Dia menjelaskan warga resah dengan usaha pemecah batu itu karena debunya menganggu kesehatan warga. Selain itu, kata dia, jalan desa juga rusak akibat lalu lintas truk yang mengangkut batu ke lokasi usaha.
“Dulu tiba-tiba ada usaha itu. Warga protes dan sempat ada rencana pengusaha mau pindah tempat. Awalnya minta toleransi setahun tetapi diingkari. Kemudian pengusaha itu minta toleransi setahun lagi dengan kompensasi ke warga tetapi juga diingkari dan kompensasi tidak dibayarkan. Terakhir, si pengusaha minta perpanjangan enam bulan dan jatuh temponya 20 Agustus lalu tetapi juga diingkari lagi,” ujar Anis.