Esposin, SOLO— Pengemudi bus pariwisata belum memiliki regulasi perlindungan. Perlu regulasi yang mengatur jam kerja hingga pengupahan untuk mengurangi risiko kecelakaan angkutan umum jalan raya.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan belum ada regulasi perlindungan bagi pengemudi bus pariwisata.
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
Sedangkan pemerintah, menurut dia, menargetkan perlindungan pengemudi daring selesai Desember 2024. “Belum ada regulasi bagi pengemudi bus wisata karena electoral,” papar dia ditemui Esposin pada Focus Group Discussion (FGD) Penguatan Regulasi dan Kelembagaan untuk Menekan Angka Kecelakaan Bus Pariwisata di Hotel Novotel Solo, Selasa (28/5/2024) pagi.
Menurut dia, karakteristik operasional bus pariwisata tidak diatur rutenya dan tidak diatur waktunya. Bus wisata biasanya beroperasi sepanjang hari tanpa istirahat.
“Kedua karakteristik itu menimbulkan masalah, yakni sulit pengawasannya, bus umum lainnya diawasi melalui terminal maupun oleh para transporter yang ada di layanan trayek tersebut. Bus wisata sulit mengawasinya,” papar dia.
Selain itu, kata dia, sebagian besar jalan menuju destinasi wisata itu sub standar yang tidak ramah untuk kendaraan besar, risiko rem blong dan masuk jurangnya tinggi. Dan sebagian besar pengguna bus wisata menyusun itinerary perjalanan wisata sehemat mungkin.
“Siang wisata, malam di jalan, ini memicu kelelahan pada pengemudi,” papar dia.
Menurut dia, perlu ada upah standar pengemudi truk dan pengemudi bus. Destinasi wisata diwajibkan menyediakan tempat istirahat yang layak bagi pengemudi. “Kadang sopir diberikan fasilitas menginap malah minta mentahannya saja selama ini,” papar dia.
Djoko mengatakan pemerintah perlu merespons banyaknya insiden kecelakaan pada periode liburan sekolah dengan mencurahkan perhatian dan melakukan penanganan angkutan masa libur sekolah, layaknya pemerintah menangani angkutan Lebaran.
Pengelolaan Angkutan Lebaran sudah masuk ranah politis, maka dengan pertimbangan aspek keselamatan sudah saatnya angkutan masa libur sekolah juga harus ada sentuhan politis.
Pemerintah bersama DPR mengalokasikan anggaran guna mendanai kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan keselamatan angkutan.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono, menjelaskan sudah ada aturan yang mengatur pilot pada transportasi udara dan nahkoda pada transportasi laut.
Sebagai contoh pilot bekerja maksimal 14 jam sehari. Delapan jam di antaranya terbang. Tidak boleh lebih dari 30 jam sepekan.
Menurut dia, sistem pengupahan untuk pengemudi saat ini berdasarkan hari kerja, jika pengemudi tidak bekerja dengan alasan apapun pada umumnya tidak mendapat bayaran.
Butuh perubahan sistem sehingga pengemudi dapat mengambil haknya untuk hari libur sesuai aturan Kementerian Ketenagakerjaan tanpa khawatir tidak dibayar.
Dia menjelaskan belum ada pengawasan jam kerja dan libur pengemudi sesuai aturan Kementerian Ketenagakerjaan. Untuk ini perlu dilakukan pengaturan Fatigue Management System seperti di udara atau di kereta api, agar pengemudi terhindar dari micro sleep ataupun acute Fatigue atau kelelahan luar biasa.
“Agar bus dengan tujuan wisata melebihi delapan jam perjalanan, untuk diwajibkan dengan dua pengemudi setiap busnya,” papar dia.