Esposin, SRAGEN -- Masyarakat Jawa sampai saat ini masih menjaga dan menaati adat istiadat dan kepercayaan warisan nenek moyang, seperti larangan nikah jilu yang berkembang di masyarakat Desa Tanggan, Gesi, Sragen, Jawa Tengah.
Nikah jilu yakni pernikahan antara anak kesiji atau pertama dengan anak ketelu atau ketiga. Ada juga yang menyebut lusan (anak ketelu dan anak kepisan). Jika nekat dilaksanakan, konon dipercaya pernikahan anak pertama dan ketiga ini akan mendatangkan bala atau malapetaka.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Ihwal mitos nikah jilu yang masih menjadi kontroversi di kalangan masyarakat Desa Tanggan karena ada sebagian warga yang percaya dan sebagian lainnya tidak percaya ini pernah diteliti oleh Fendi Bintang Mustopa dan Sheila Fakhria dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri pada 2019 lalu.
Hasil penelitian dituangkan dalam karya ilmiah berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Pernikahan Adat Jawa Jilu Studi Kasus di Desa Tanggan Kecamatan Gesi Kabupaten Sragen dan diunggah di laman ejournal.uit-lirboyo.ac.id.
Tertulis dalam karya ilmiah tersebut, prosesi pernikahan di Desa Tanggan, Gesi, Sragen, sebenarnya sama seperti pernikahan adat Jawa lainnya. Dimulai dari meminta restu orang tua pasangan masing-masing sampai pada ijab kabul.
Namun, ada larangan dalam pernikahan adat Jawa di Desa Tanggan, Sragen, yaitu pasangan yang menikah itu tidak boleh jilu atau anak pertama dengan anak ketiga. Larangan tersebut sudah ada secara turun-temurun dan masih dipercaya sebagian masyarakat hingga saat ini.
Menurut keterangan tokoh masyarakat Tanggan yang diwawancarai dalam penelitian tersebut, Abdul Yahdi, jilu adalah singkatan dari siji kalih telu (satu dengan tiga). Anak pertama dan anak ketiga tidak boleh menikah.
Menurut Abdul Yahdi, kepercayaan kepada mitos itu sudah ada sejak zaman nenek moyang. Sebagian masyarakat ada yang percaya namun ada pula yang tidak percaya. "Para sesepuh mengatakan jilu dilarang karena sifat anak mbarep [pertama] suka mendominasi dan mengatur. Berlawanan dengan sifat anak ketiga yang cenderung manja," jelas Abdul Yahdi dalam bahasa Jawa.
Sudah Ada Sebelum Zaman Kerajaan
Jika pantangan itu dilanggar, Abdul Yahdi mengatakan pasangan yang menikah itu akan mendapat banyak kesulitan mulai dari dijauhkan dari rezeki, sandang pangan seret, dan paling mengerikan, orang tua dari pasangan jilu yang nekat menikah itu meninggal.Sementara itu, tokoh adat Desa Tanggan, Gesi, Sragen, Surono, yang juga dikutip dalam penelitian tersebut, menceritakan larangan pernikahan jilu sudah ada sejak sebelum zaman kerajaan. Menurut Surono, larangan pernikahan jilu sebenarnya merupakan tradisi orang Hindu.
Dia menceritakan konon dalam sejarahnya, ada orang yang mencari rumah Tuhan Yang Maha Agung. Setelah mencari ke sana kemari, rumah tersebut tak kunjung ditemukan.
Suatu ketika, orang tersebut didatangi makhluk berwujud belalang di pertapaannya. Belalang itu tertawa dan mengatakan rumah Tuhan itu ada di tiga tempat. Pertama, bagi perempuan maka tempatnya di rumah suami. Kemudian, di rumah kedua orang tua, dan ketiga, di dalam hati.
"Perkara tiga di desa ini sangat berat, akibat dari tiga perkara itu menjadi tradisi kepercayaan babatan tiga. Babatan tiga dipercaya sebagai petaka, banyak orang yang enggan percaya dengan perkara tiga. Akhirnya perkara tiga dipakai untuk pernikahan jilu dan dipercaya sampai sekarang, namun ada juga yang tidak percaya,” kata Surono.
Ihwal larangan pernikahan jilu atau anak pertama dengan anak ketiga seperti di Desa Tanggan, Sragen, ini juga pernah dibahas akun Instagram @misterisolo. Dalam unggahannya pada Desember 2021 lalu, akun itu menyebut larangan pernikahan lusan atau anak ketelu dan kepisan memiliki tujuan baik.
Hal itu karena sifat anak pertama yang cenderung mandiri dan keras kepala sementara anak ketiga cenderung manja dan kekanak-kanakan. Perbedaan sifat ini lah yang dikhawatirkan menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga. Bahkan, ketakutan terhadap percekcokan ini yang dipercaya akan menjauhkan kedua pasangan jauh dari rezeki.
"Jika dilanjutkan lagi dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit untuk masing-masing orang tua yang ditakutkan akan mempersingkat umur karena sakit-sakitan karena memikirkan rumah tangga si anak,” tulis pengelola akun Instagram @misterisolo dalam unggahannya.
Namun, di sisi lain, akun tersebut menambahkan apakah larangan itu fakta atau mitos, hingga saat ini masih diperdebatkan. "Hal ini dikarenakan banyak pernikahan lusan yang tetap awet hingga kakek-nenek," tulis akun tersebut.