Esposin, WONOGIRI -- Sebanyak 412 anak di Wonogiri terdeteksi tertular penyakit tuberkulosis atau TBC pada Januari-Agustus 2023. Jumlah itu menjadikan Wonogiri sebagai kabupaten dengan jumlah kasus TBC anak terbanyak di Jawa Tengah.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonogiri, Satyawati, mengatakan jumlah kasus itu masih di bawah target pelacakan dan penemuan TBC sebanyak 1.419 kasus, baru tercapai 64 alias persen dari target.
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
Dinkes Wonogiri bakal berupaya meluaskan cakupan pemeriksaan sehingga diharapkan bisa mencapai target itu pada akhir 2023 ini. Dia menyebut TBC adalah penyakit menular serius yang bisa menyebabkan kematian apabila tidak diobati.
Dari penemuan 918 kasus itu saja, sudah ada 32 orang meninggal selama delapan bulan terakhir ini. Mereka yang meninggal karena TBC itu disebabkan beberapa faktor antara lain putus minum obat TBC, resisten obat TBC karena putus obat, atau komplikasi lain bersama dengan TBC.
Menurut Satyawati, yang cukup dikhawatirkan saat ini yaitu banyaknya kasus TBC pada anak di Wonogiri. Jumlahnya mencapai 44,88% dari total jumlah kasus TBC di kabupaten tersebut.
Angka itu menjadikan Wonogiri sebagai kabupaten dengan jumlah kasus TBC anak terbanyak di Jawa Tengah. Banyaknya kasus TBC pada anak juga mengindikasikan banyak pula TBC pada orang dewasa.
Karena anak-anak pasti tertular dari orang dewasa. Anak-anak rentan tertular TBC karena daya tahan tubuh mereka masih lemah.
“Tantangan tersulit kami dalam penanganan TBC ini yakni mendeteksi orang yang aktif TBC tetapi tanpa gejala. Mereka pasti enggak akan memeriksakan diri karena merasa sehat,” jelas Satyawati saat ditemui Esposin di Kantor Dinkes Wonogiri, Rabu (6/9/2023).
TBC Resisten Obat
Kalaupun diperiksa dan dinyatakan positif TBC, Satyawati melanjutkan mereka cenderung malas berobat. "Ini akan menjadi masalah baru lagi karena mereka bisa jadi resisten obat TBC dan menularkan kepada orang lain, termasuk anak-anak," ujarnya.
Dia melanjutkan orang yang resisten obat (RO) TBC berawal dari mereka yang awalnya berobat tetapi kemudian putus di tengah jalan. Orang dengan TBC aktif semestinya menjalani pengobatan minimal selama enam bulan.
Saat ini kasus terkonfirmasi TBC yang resisten obat di Wonogiri ada 11 kasus. “Mereka yang RO TBC, ketika minum obat harus didampingi petugas kesehatan atau kader TBC, setiap hari, mau tidak mau,”ujar dia.
Meski standar pelayanan minimal (SPM) sudah dinilai baik dibuktikan dengan cakupan pemeriksaan terduga TBC mencapai 120%, Satyawati mengaku masih ada pekerjaan rumah dalam penanganan TBC di Wonogiri.
Salah satunya penyusunan rencana aksi daerah (RAD) penanggulangan TBC. Dinkes saat ini mulai menyusun hal tersebut. Dengan RAD, diharapkan semua pemangku kepentingan di Wonogiri bisa terlibat dalam penanganan TBC.
“Pencegahannya enggak lain harus melalui PHBS [perilaku hidup bersih dan sehat], itu,” katanya.
Terpisah, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wonogiri, Nugroho Kuswardono, menyampaikan perlu komitmen dari semua pihak dalam penanganan TBC di Wonogiri untuk mencapai target eliminasi pada 2030.
Menurut dia, perlu ada kader TBC di setiap desa di Wonogiri. Penyakit ini tidak bisa dianggap remeh karena tidak mengenal usia dan bisa menyebabkan kematian.
“Kami para DPM [dokter praktik mandiri] juga harus mendukung, bertanggung jawab, dan melaporkan apabila menemui kasus TBC,” kata Nugroho.