Esposin, SOLO—Iringan Santiswaran membuka pentas ketoprak dengan lakon Kembang Cempaka Mulya di halaman Museum Radya Pustaka, Jl. Slamet Riyadi No.275, Sriwedari, Laweyan, Kota Solo, Jumat (9/8/2024) malam.
Iringan Santiswaran berisikan selawat kepada nabi. Vokal disajikan secara koor yang diiringi alat musik terbang, kendang Jawa, dan kemanak. Sesekali gamelan dimainkan di beberapa bagian. Vokal yang bernuansa Jawa-Islam itu memecah malam di langit Kota Solo yang kian dingin. Pentas dimulai hampir pukul 21.00 WIB.
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Iringan itu dimainkan sebagai penanda dimulainya adegan. Kembang Cempaka Mulya yang dimainkan oleh kelompok Kethoprak Ngampung asal Solo itu berkisah tentang Ki Demang yang sedang mencari penerusnya. Dia sudah tua dan sakit.
Demang merupakan jabatan yang secara hierarkis ada di atas lurah atau kepala desa. Jika merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kepala distrik atau wilayah setingkat kecamatan.
Jabatan yang sama diemban oleh Ki Demang. Ki Demang memiliki tiga putra. Dia sempat bimbang siapa yang pantas meneruskanya sebagai demang. Akhirnya dia memberikan semacam ujian untuk melihat siapa di antara tiga putarnya itu yang pantas menggantikannya.
Ki Demang yang sedang sakit memanggil ketiga putranya. Dia berwasiat kepada ketiganya untuk mencari kembang cempaka mulya di Gunung Lawu. Dua anak tertua Ki Demang tiba-tiba semangat. Mereka terlihat punya pamrih untuk mencari bunga itu sebelum sang ayah meninggal. Harapannya mereka bisa menggantikan jabatan ayahnya itu.
Sedangkan satu lagi, si anak bungsu, nampak tidak memiliki pamrih apapun kecuali menjalankan tugas dari ayahnya. Tidak seperti kedua kakaknya, dia hanya tulus karena ingin berbakti kepada ayahnya.
Dua anak tertua Ki Demang kemudian mencari cara agar membuat kagum sang ayah agar dipilih sebagai demang selanjutnya. Dengan kesadaran masing-masing, mereka membuat kembang dari bahan sejenis emas. Mereka tidak berangkat ke Lawu.
Sedangkan si bungsu berangkat ke sebuah desa di kaki Gunung Lawu. Di sana dia berbincang dengan para petani. Serta belajar tentang tanaman termasuk cara mencangkok. Dia kemudian membawa satu tanaman hasil cangkokan itu ke rumah ayahnya.
Ketika tiga anak itu kemudian menunjukkan bunga yang diyakini merupakan Cempaka Mulya, hasil pencarian mereka. Dua anak paling tua melebih-lebihkan cerita tentang bagaimana mereka mendapatkan bunga itu.
Mereka mengaku sempat tapa di gunung, lalu bertemu naga dan ular raksasa. Setelah berhasil mengalahkan perwujudan buto, akhirnya muncul Kembang Cempaka Mulya. Kisah itu sebetulnya hanya karangan saja, agar sang ayah kagum.
Sementara si anak bungsu, sebaliknya, proses pencariannya tidak serumit itu. Si anak bungsu hanya mampir di satu desa yang banyak dihuni para petani. Di sana, dia berbincang serta mendengarkan keluhan para kawula, rakyat biasa yang sehari-hari mencari kehidupan di sawah dan ladang.
Bahkan dia belajar sendiri cara mencangkok bunga yang harumnya semerbak. Hasil cangkokan itu dia bawa pulang. Nantinya setelah ditujukan kepada sang ayah, dia bermaksud menanamnya di depan pendapa rumah.
Pendapa rumah itu biasanya digunakan untuk tempat pertemuan. Dia ingin semerbak harum bunga itu bisa dirasakan masyarakat sekitar yang sering bertamu di pendapa rumah Ki Demang.
Setelah mendengar cerita ketiga anaknya, Ki Demang ternyata lebih memilih anak bungsunya untuk meneruskan tanggung jawabnya sebagai demang.
“Menurut saya yang bisa dikatakan Kembang Cempaka Mulya itu ya apa yang dibawa oleh Sembada [putra bungsu], karena cara dia mendapatkan itu menggunakan usaha dan prosesnya merangkul rakyat untuk bekerja bersama. Kembang Cempaka Mulya itu yang bisa ditanam dan bisa bermanfaat untuk orang lain, ” kata Ki Demang.
Ki Demang secara tersirat mengatakan seharusnya calon pemimpin, baik di level desa sampai pemimpin negara, tanpa pamrih. Tidak ada maksud terselubung untuk memperkaya dirinya sendiri. Tidak juga memiliki ambisi apapun kecuali untuk kebaikan rakyat.
Penulis naskah sekaligus sutradara, Dwi Mustanto mengatakan lewat pentas itu, dirinya ingin menunjukkan bahwa seharusnya calon pemimpin itu tanpa pamrih, sederhana, dan tidak hanya mengumbar janji yang retoris.
“Karena pemimpin itu harus bisa menjadi teman kawula [rakyat biasa],” kata Mas Mus, sapaan akrabnya, ketika ditemui Esposin di lokasi pentas, Jumat.
Meski memuat pesan yang serius, ketoprak itu dikemas sangat ringan sekaligus lucu. Mas Mus sengaja mengemasnya dengan komedi agar inti cerita dan pesan mudah dipahami penonton.
Malam itu para pemain dengan lihai melempar guyonan ke penonton. Salah satu yang memperkuat dan mempertebal tawa penonton adalah Doel Sumbing, salah satu personel band Orkes Humor Pecas Ndahe. Lewat celetukannya yang khas, Doel selalu gampang mengundang tawa.
“Harapannya sebetulnya mampu menarik minat anak muda, target saya sebetulnya anak muda untuk pentas malam ini,” kata Mas Mus.
Meski hanya bermain di panggung yang beralaskan karpet, mereka berhasil membuat puluhan orang betah menonton hingga selesai. Mas Mus mengatakan sengaja menghadirkan ketoprak di panggung yang sangat sederhana.
“Semacam ketoprak pelataran begitu, yang tidak menggunakan panggung konvensional. Selama ada penerangan ya itu panggung kami, tidak ada batasan. Tidak menggunakan panggun hanya karpet itu,” kata dia.
Mas Mus mengatakan lakon ini sudah dipentaskan lima kali sejak 2017. Sedangkan dengan konsep yang terbuka seperti ini, sudah diadakan dua kali. Untuk kebutuhan pementasan, dirinya memangkas cerita agar lebih pendek.
Selain memperpendek certia, dia sedikit menyesuaikan iringan ketoprak menggunakan Santiswaran. Iringan itu membawa sedikit kebaruan.
Penata Musik Kethoprak Ngampung, Panggah Rudhita mengatakan khusus malam itu, sengaja menghadirkan Santiswaran sebagai iringan ketoprak. Santiswaran berasal dari kata santi yang artinya doa, dan swaran yang artinya suara.
“Santiswaran adalah doa yang disuarakan, dalam hal ini ditembangkan. Sedangkan tembang sendiri berarti tembung sing dilagokake atau kata yang dilagukan. Nah ini kami kemas untuk mengiri adegan ketoprak,” kata dia.
Menurut dia, terdapat kesamaan antara Santiswaran dan ketoprak yakni sama-sama sebagai sarana bertutur. Sarana bertutur ini yang kemudian dinilai efektif untuk menyampaikan pesan kebaikan kepada penonton. Menurut dia, baik Santiswaran dan ketoprak, sama-sama mempunyai konsep mengajarkan tapi tidak menggurui.