Esposin, SOLO - Seribu nasi tumpeng yang dikirab dalam agenda Kirab Seribu Tumpeng memperingati malam selikuran atau malam 21 Ramadan yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Selasa (7/7/2015) malam, ludes dalam sekejap.
Pantauan
Setelah menata diri dengan rapi dengan membentuk barisan, sejumlah 140 prajurit Keraton Solo tersebut mulai berjalan beriringan ke arah timur untuk mulai mengitari kompleks Keraton atau Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo.
Kehadiran rombongan prajurit yang kembali sampai di depan Kori Kamandungan disambut ratusan sentana. Secara spontan, para sentana yang kompak mengenakan beskap putih yang dipadupadankan dengan bawahan kain jarik itu masuk di dalam barisan, tepatnya di belakang rombongan prajurit. Mereka lantas berjalan melewati supit urang menuju Masjid Agung.
Tidak hanya prajurit dan sentana, puluhan abdi dalem Keraton Solo juga turut memeriahkan agenda Kirab Seribu Tumpeng itu. Barisan abdi dalem yang berada di rombongan paling belakang membawa belasan kotak berisi seribu tumpeng kecil dan belasan lampu obor atau ting untuk menerangi jalan.
Cukup cepat rombongan Kirab Seribu Tumpeng berjalan dari Kori Kamandungan menuju Serambi Masjid Agung, yakni membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Selain arus lalu lintas yang sepi karena sudah dikendalikan, jumlah penonton juga tergolong cukup sedikit hingga rombongan bisa melaju lancar. Sesampainya di Serambi Masjid Agung, nasi tumpeng ditata untuk kemudian didoakan.
Tidak berselang lama setelah didoakan oleh ulama dari Masjid Agung, tumpeng kecil yang terdiri atas nasi gurih, satu cabai, dua telur puyuh, sebuah potongan mentimun, dan kedelai hitam yang dikantongi plastik itu mulai dibagikan kepada ratusan masyarakat yang hadir di Serambi Masjid Agung sebelum kehadiran rombongan kirab. Peserta kirab juga tidak kalah berebut mendapat tumpeng.
Wakil Pangageng Sasana Wilapa Keraton Solo, K.P.A. Winarno Kusumo, mengatakan agenda Kirab Seribu Tumpeng sudah tradisi yang digelar sejak kerajaan Demak, termasuk dilakukan oleh para wali. Tradisi tersebut, lanjut dia, digelar untuk menyambut kedatangan malam lailatul qadar atau malam seribu bulan.
"Seribu tumpeng yang dikirab menggambarkan limpahan pahala setara seribu bulan bagi umat Islam yang beribadah pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadan," kata Winarno.
Winarno menjelaskan tumpeng berisi nasi berwarna putih menandakan kesucian seperti manusia yang baru saja lahir, yakni penuh kebaikan. Menurut dia, kirab nasi tumpeng tersebut juga juga sebagai bentuk kepedulian manunggaling kawula gusti sekaligus untuk menjadi sarana hiburan yang disajikan Keraton Solo untuk masyarakat.
"Sejak 2011 kami menggelar kirab tanpa [bantuan dana] dari Pemkot Solo. Kami tetap bisa mengadakan kirab. Kirab ini menjadi kirab keempat yang selesai di Masjid Agung. Dulu, kirab dimulai dari Keraton Solo menuju Sriwedari dengan lewat Jl. Slamet Riyadi," kata Winarno.
Warga Kelurahan Baluwari, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Endang Sri Agustini, 47, mengatakan Kirab Seribu Tumpeng menjadi pengingat bagi umat Islam untuk lebih semangat menjalankan ibadah pada sepuluh hari terakhir Ramadan.
Menurut dia, kehadiran masyarakat penting sebagai bentuk kepedulian kepada agenda budaya.
"Bagaimana pun juga Keraton Solo menjadi bagian dari warisan budaya di Solo. Masyarakat harus ikut nguri-uri kebudayaan. Konsep atau keramaian acara kirab tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Mungkin kerja sama Keraton dengan pemerintah bisa lebih menyemarakkan [kirab]," kata Endang.