Esposin, KLATEN -- Lebih dari setengah abad, warga Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten, silih berganti menggeluti usaha sebagai pedagang angkringan. Mereka menjadi perantau yang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
Berkat usaha di perantauan, ekonomi warga desa paling ujung selatan Klaten yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunungkidul, DIY, itu terdongkrak. Tak sekadar menafkahi keluarga, pendapatan dari merantau itu bisa untuk menguliahkan anak hingga mengembangkan usaha dan mengurangi pengangguran.
Kini, Desa Ngerangan bahkan sudah dikenal ke berbagai penjuru Klaten sebagai daerah cikal bakal angkringan dan potensinya bisa dikembangkan untuk wisata. Kisah tentang usaha angkringan itu pun sudah melekat di benak hampir setiap warga Ngerangan baik sebagai pelaku atau yang dibesarkan dari hasil pendapatan angkringan.
Seperti halnya di antara para aparatur desa setempat. Mayoritas memiliki kisah dengan angkringan. Ada yang pernah bahkan hingga kini menggeluti usaha angkringan, ada pula yang orang tuanya masih menggeluti usaha itu.
Seperti Kepala Desa (Kades) Ngerangan, Sumarno. Sebelum menjadi perangkat desa dan berlanjut menjadi kades di tanah kelahirannya, Sumarno menjalankan usaha warung angkringan di Semarang pada 1998-2004.
Sumarno mengatakan kehidupan mayoritas warga Ngerangan tak bisa dilepaskan dari usaha angkringan. Meski tak ada yang bercita-cita menggeluti usaha kuliner khas tersebut, nyatanya saban tahun ada saja generasi penerus yang menjaga eksistensi warung yang kerap dijuluki warungnya wong cilik itu.
Mereka yang sukses mengembangkan usaha angkringan di satu daerah, kerap mengajak warga lainnya yang belum memiliki pekerjaan untuk ikut bergabung. Alhasil dari tahun ke tahun ada saja generasi penerus yang menjaga eksisten Ngerangan sebagai desa cikal bakal angkringan.
Juragan dan Prembe
Dalam dunia angkringan, ada istilah juragan dan prembe. Juragan yakni mereka yang sudah memiliki usaha angkringan hingga bisa merekrut karyawan. Sementara prembe merupakan sebutan bagi mereka yang menjadi karyawan, menjaga dan menjalankan warung milik jurangan di wilayah tertentu.“Kalau di sini ada yang jadi juragan, ada juga yang jadi prembe. Iya, rata-rata prembe itu juga warga sini. Mereka [para juragan] pulang kemudian mengajak saudara-saudaranya di desa. Ada satu juragan itu terdapat 10-15 prembe. Jelas dari usaha ini mendongkrak perekonomian warga dan benar-benar mengurangi pengangguran,” kata Sumarno saat ditemui Esposin di Kantor Desa Ngerangan, Selasa (30/4/2024).
Sekretaris Desa (Sekdes) Ngerangan, Joko Wahyono, menjelaskan dari 5.000 warga, hampir 60 persennya menggeluti usaha angkringan. “Itu baik yang menjadi juragan maupun prembe. Mereka menyebar ke seluruh Indonesia,” kata Joko yang mertuanya berasal dari Ngerangan dan hingga kini mengembangkan usaha angkringan di wilayah Kabupaten Sukoharjo.
Ketua Pokdarwis Desa Ngerangan, Suwarna, mengungkapkan banyak kisah warga Ngerangan di perantauan yang sukses berkat usaha angkringan di berbagai kota. Tidak seperti kacang lupa kulitnya, mereka yang sukses di perantauan pun berusaha mengangkat derajat tetangga atau pun saudara di kampung halaman.
Warga yang belum bekerja mereka ajak untuk menjadi prembe, mengembangkan usaha di berbagai kota. Dia mencontohkan seorang warga asli Ngerangan yang sukses mengembangkan usaha di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Dari semula bermodal nekat dan babat alas membuka satu angkringan, warga asal Ngerangan itu kini sukses dan menetap mengembangkan usaha hingga punya 11 cabang di Grobogan. ”Kemudian ada di Cirebon itu punya sekitar 30 cabang. Ada juga yang di Indramayu punya 20 cabang. Rata-rata mengajak orang-orang sini,” jelas Suwarna.
Suwarna pun menjelaskan dari usaha angkringan itu bisa membiayai pendidikan anak-anak para pedagang hingga jenjang perguruan tinggi. Tak hanya itu, warga yang menekuni usaha angkringan bisa mengubah kondisi ekonomi keluarga mereka. “Ada yang sampai bisa beli tanah ya dari hasil jualan angkringan,” kata Suwarna.
Sejarah Angkringan di Ngerangan
Awal mula Desa Ngerangan, Bayat, Klaten, menjadi cikal bakal lahirnya angkringan bermula pada 1930-an. Saat itu, seorang warga Ngerangan bernama Karso Dikromo atau Karso Djukut asal Dukuh Sawit merantau ke Solo. Kondisi ekonomi Ngerangan sebelum kemerdekaan yang memprihatinkan memaksa Djukut merantau ke Kota Solo.Djukut kemudian bertemu seseorang bernama Mbah Wono, seorang juragan terikan di Laweyan, Solo. Awalnya, Djukut diminta merawat kerbau dan bertani hingga akhirnya Djukut diberikan kesempatan untuk berjualan terikan.
Setelah beberapa tahun berjualan, ide kreatif Djukut muncul dan berinisiatif menambah minuman dan cerek. Djukut menempatkan makanan pada tumbu dan ditaruh di kepala sembari menenteng cerek. Lantaran kurang nyaman, ide kreatif Djukut muncul lagi membuat pikulan.
Djukut lantas dibantu warga asal Dukuh Sawit, Desa Ngerangan bernama Wiryo Je menjadi prembe. Wiryo Je berperan menemukan racikan jahe dan teh khas, yakni teh oplosan yang hingga kini masih banyak diterapkan para pedagang angkringan.
Pada 1950-an, Djukut mengajak sejumlah warga Dukuh Sawit ke Solo untuk berjualan hik atau angkringan. Usaha itu terus berkembang dan menyebar di Solo. Pada era 1975, berjualan dengan cara dipikul mulai beralih menggunakan gerobak.
Tak hanya di Solo, hik atau angkringan berkembang ke Jogja. Seiring perkembangan, warung itu merambah hingga ke seluruh Pulau Jawa dan kini menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.
Tempat dan menunya yang sederhana dan kerap disebut merakyat membuat warung angkringan banyak penggemar. Tak sekadar untuk melepas lapar dan dahaga, warung angkringan menjadi tempat nongkrong.
Inovasi para pedagang angkringan seakan mengikuti perkembangan zaman hingga gaya hidup. Warung angkringan kini tak hanya tampil sederhana dengan ciri khas gerobak, tiga cerek, perapian dari arang bakar, dan penutup warung berupa tenda.
Konsep warung angkringan kini beraneka ragam seperti menjadi selayaknya kafe lengkap dengan fasilitas wifi gratis. Menu yang disajikan pun tak sekadar gorengan dan nasi kucing. Beraneka hidangan kini bisa ditemukan di angkringan berkonsep modern.
Keahlian Meracik Minuman
Tak hanya milik warga Ngerangan, usaha warung angkringan kini sudah ditekuni warga di berbagai daerah. Namun, keuletan warga asal Ngerangan, Bayat, Klaten, dalam meracik sajian minuman angkringan memiliki keunggulan tersendiri.Kaur Keuangan Desa Ngerangan, Muchsin Dwi Nugraha, menjelaskan kunci suksesnya usaha warung angkringan terletak pada sajian minuman. Selama hidangan minuman yang disajikan cocok di lidah para pembeli, usaha angkringan diyakini bisa eksis bahkan berkembang.
Muchsin menjelaskan meracik minuman terutama sajian teh sudah diwariskan dari masing-masing orang tua di Ngerangan yang lebih dulu menggeluti usaha itu. Awalnya, para pendahulu melakukan riset kecil-kecilan setiap kali babat alas alias membuka warung di tempat baru.
Muchsin membenarkan selera cita rasa minuman warga satu daerah dengan daerah lainnya bahkan antarindividu berbeda. Hal itulah yang menjadi tantangan bagi pedagang angkringan ketika mengembangkan usaha di satu daerah.
Mereka yang membuka warung di tempat baru selalu berusaha beradaptasi dengan selera lidah hingga jenis air yang ada. “Seperti adaptasi dengan air yang ada di sana. Mungkin racikan yang ada di sini tidak cocok ketika diterapkan hal yang sama dengan air yang ada di daerah tertentu,” jelas Muchsin.
"Jenis air tanah, PDAM, atau air isi ulang itu juga menghasilkan cita rasa berbeda. Bisa jadi cukup dengan dua jenis teh dioplos atau bahkan bisa sampai lima jenis teh. Karena itu, ada keuletan di sana dalam meramu," tambah Muchsin.
Para pedagang pun tak segan bertanya soal selera minuman yang diinginkan para pelanggan di masing-masing daerah. Keahlian dalam meramu sajian minuman itulah yang membuat warung angkringan, khususnya yang digeluti warga asal Ngerangan, eksis hingga kini.
Sekolah dan Museum Angkringan
Eksistensi warung angkringan membikin bangga warga hingga pemerintah di desa yang berada pada pelosok selatan Kabupaten Bersinar itu. Tak sekadar bangga, pemerintah desa (pemdes) berupaya ikut membantu menjaga eksistensi serta meneguhkan Ngerangan, Bayat, Klaten, sebagai desa cikal bakal angkringan.Kades Ngerangan, Sumarno, menjelaskan pemdes dibantu beberapa tenaga ahli dari desa berusaha menggali sejarah angkringan. Selain itu, desa setempat menggelar berbagai kegiatan untuk mengenalkan Ngerangan sebagai cikal bakal angkringan.
Dia mencontohkan seperti mendukung bergulirnya sekolah angkringan sebagai salah satu daya tarik wisata edukasi. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi pun kepincut mengikuti kelas angkringan tersebut. Pokdarwis Ngerangan juga mengembangkan museum angkringan yang bisa menjadi tempat untuk mengetahui sejarah angkringan dan perkembangannya.
Selain itu, Pokdarwis setempat juga kerap menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan pelatihan keterampilan. “Pengelola Deswita kami juga sering kerja sama dengan beberapa lembaga. Ketika ada lembaga yang membuat pelatihan keterampilan dalam membuat usaha angkringan, Deswita kami yang menjadi narasumber,” kata Sumarno.
Sumarno menjelaskan tak jadi soal ketika semakin banyak warga dari berbagai daerah mengembangkan usaha angkringan. Dia meyakini rezeki sudah ada yang mengatur. “Sebenarnya meniru usaha angkringan itu mudah. Namun, memang yang menjadi ciri khas warga di desa kami itu soal ilmu meracik sajian tehnya,” kata Sumarno.