Esposin, SOLO – Kisah kelam tentang kekejaman anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terekam jelas di memori Heri Isranto. Warga Solo yang dikenal sebagai pemerhati olahraga itu merupakan saksi hidup kekejaman PKI.
Pria yang akrab disapa Gogor itu menceritakan semasa kecil sering melihat langsung keberingasan anggota PKI. Kala itu dia tinggal bersama kakeknya tepat di depan markas PKI di Solo yang berlokasi di Jl Honggowongso selatan Pasar Kembang.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Kakeknya adalah Mangku Suwiryo, Mangku Sunarto (partisipan PNI), serta Sudiyono (aktivis Muhammadiyah).
Baca juga: Ini Dia Diorama Penumpasan PKI yang Bikin Gatot Nurmantyo Prihatin
Gogor mengaku masih mengingat salah seorang senior PKI yang bernama DN Aidit sering bolak-balik mengunjungi markas tersebut. Letak markas PKI di Solo itu berada tepat di depan rumah kakeknya di Jl Honggowongso.
"Kebetulan rumah kakek saya itu aktivis Muhammadyah. Mbah-mbah saya di situ dan berhadapan dengan rumah pribadi kyai Nahdatul Ulama (Kyai Firas)," tambahnya.
Gogor tak bisa melupakan berbagai kejadian memilukan yang terjadi di sekitar tahun 1965. Meski saat itu usianya baru delapan tahun, pengurus National Paralympic Committee (NPC) Indonesia pernah merasakan perlakuan tidak menyenangkan.
"Saya yang sekecil itu saja sudah mendapat ancaman mulai kata-kata dan sempat diberi keringat ketiak dikasihkan ke hidung saya," ucapnya.
Sebagai putra seorang anggota militer, Gogor mengaku secara refleks membalas tendangan anggota PKI tersebut. "Saya lari karena dikejar sambil diteriaki kata-kata kotor. Oleh tetangga akhirnya diberi tahu untuk tidak mengejar," papar dia.
Baca juga: Terungkap! Kronologi & Penyebab Tukul Arwana Pendarahan Otak
Selain keluarganya, Gogor ingat betul banyak orang dibawa ke markas PKI di Solo untuk disiksa.
"Sering saya melihat orang dibawa masuk lalu terdengar suara dipukuli. Pokoknya benar-benar biadab," sambung dia.
Setelah tragedi G30S pecah, pasukan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini beralih nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menyerbu markas PKI di Jl Honggowongso, Solo, pada Oktober 1965. Kejadian ini membuat keluarga Gogor lega karena pasukan tersebut berhasil menumpas antek-antek komunis.
"Kakek saya bersyukur dan plong pasukan RPKAD akhirnya datang dan memang salah satunya khusus menjaga rumah yang saya tempati. Para anggota RPKAD juga sempat minum teh dan istirahat di rumah eyang. Setelah itu pagi harinya serangan balik ke markas DPC PKI itu. Seingat saya semua dimasukkan ke truk sampai habis, cepat sekali. Setelah itu semua sudah bersih," tuturnya.
Baca juga: Hari Rabies Sedunia: Solo Masih Jadi Surga Kuliner Anjing?
Masuk Daftar Eksekusi
Gogor pun kaget saat mengetahui fakta bahwa keluarga besarnya termasuk dalam daftar eksekusi yang dibuat PKI."Tebukti dokumennya PKI bahwa keluarga saya, H Asngat dan H Sangidu (ayah dari pendiri Ormas Mega Bintang, Mudrick M Sangidu) masuk dalam daftar eksekusi mereka dan dibuatkan lubang untuk mengubur semua," ujar dia.
Hal itu disebabkan karena ketiga kerabat Gogor merupakan tokoh agama yang punya pengaruh besar.
"Ketiganya tokoh agama saat itu. Seperti kakek saya yang mewakafkan masjid At Taqwa. Pemrakas KH Ghozali, dan pendanaan H Asngat yang kakak beradik dengan H Sangidu," tambah dia.
Kini rumah, lahan, serta masjid yang dulu ditinggali Gogor telah diwakafkan dan berubah menjadi bangunan SMA Al Islam Solo.