Tak hanya itu, payung yang kini lebih banyak berfungsi sebagai hiasan itu pasarannya bahkan sudah mencapai luar negeri. Wigit Gunarto, pengrajin Payung Hias Honocoroko Dusun Gumantar misalnya, mampu menjual hasil karyanya hingga Singapura. Saat ditemui Espos di rumahnya, awal pekan ini, Wigit mengaku menggunakan media internet, blog dan Facebook untuk memasarkan payung hasil karyanya. Ia selama ini hanya melayani pesanan pembeli dengan karya-karya yang tidak bisa didapatkan di pasaran. “Semua barang yang dijual di sini tidak akan ditemui di pasaran, karena saya memang tidak menjualnya di sana. Yah biar tidak ada yang meniru saja,” jelasnya.
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
Setiap proses dalam pembuatan payung selalu dikerjakan oleh beberapa orang. Sigit hanya mengerjakan bagian finishing saja. Menurutnya pekerjaan kerajinan payung ini mampu menyerap beberapa tenaga kerja di daerah setempat, mulai pembuatan kerangka, perajutan, penyedia bambu, hingga proses pengecatan.
Menurutnya bisnis pembuatan payung ini jarang sepi pembeli, kadang ia sampai kewalahan menerima pesanan. “Kemarin saya dapat orderan 300 payung untuk Imlek, tapi karena waktu yang mepet akhirnya saya tolak,” jelasnya. Selain waktu dan jumlah pekerja yang kurang, minimnya modal juga mnejadi kendala Sigit mengembangkan usahanya. “Karena penjualannya via online, jadi kadang banyak pembeli yang bayarnya lama,” tambah Sigit.
Pengrajin spesialis payung untuk kematian, Suparno mengaku pekerjaan pembuatan payung cukup menguntungkan dan bisa dikerjakan banyak orang, sehingga mengurangi pengangguran. Sedangkan keuntungan yang ia dapatkan bisa mencapai 50% per payung. “Dari pembuatan yang menghabiskan biaya Rp6.500, saya bisa menjual Rp10.000 atau kadang Rp15.000,” tutur Parno. Sementara untuk pemasaran, sasarannya ialah wilayah Solo dan Yogyakarta.
JIBI/SOLOPOS/Ika Yuniati