Gardu kayu sederhana menjadi tempat berteduh yang cukup nyaman. Terik matahari siang tidak mampu menembus atap gardu yang terbuat dari genteng. Enam orang duduk santai, beberapa di antaranya menarik dalam-dalam sebatang rokok kretek. Sebagian yang lain hanyut dalam pikiran dan lamunan masing-masing.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Mereka adalah para kuli material sungai Bengawan Solo sekaligus penjaja jasa larung ari-ari atau plasenta bayi. Kebetulan hingga siang belum ada orang yang datang meminta jasa mereka. Kendati demikian para penjaja jasa yang tidak pernah memasang tarif itu tidak putus asa. Sebab pekerjaan melarung ari-ari mereka niati sebagai pekerjaan tambahan saja untuk menutup kekurangan pendapatan dari hasil menjadi kuli material Bengawan Solo.
”Kalau untuk larung ya seikhlas yang memberi saja, paling sering Rp5.000. Terkadang juga hanya ucapan terima kasih. Tapi yang bikin sebel saat tidak memberi uang juga tidak mengucapkan terima kasih,” ungkap Sariman, 60, asal Kaplingan, Jebres.
Penuturan senada disampaikan Demin, 50, asal Palur, Mojogedang, Sukoharjo. Menurut dia, dalam sehari tidak mesti ada orang yang melarung ari-ari ke Bengawan Solo sehingga dirinya tidak terlalu mengandalkan profesi sebagai penjaja jasa larung ari-ari. ”Kalau di sini banyak yang datang dari berbagai daerah untuk menghanyutkan ari-ari. Kami sebatas membantu menghanyutkan saja, yang punya hajat yang mendoakan atau ritual khusus lain,” jelasnya.
Sedangkan tokoh masyarakat Pucangsawit, Winarno, menjelaskan ada doa dan harapan dalam sebuah prosesi larung ari-ari. Sungai Bengawan Solo dipilih karena dianggap paling bagus untuk menghanyutkan suatu benda karena airnya yang deras. Larung bukan hanya berlaku untuk ari-ari melainkan juga untuk benda-benda lain seperti benda kesayangan. Prosesi larung tidak hanya dilakukan oleh etnis Jawa melainkan juga etnis Tionghoa.
JIBI/SOLOPOS/Kurniawan