Esposin, SOLO — Sepertinya setiap keluarga asli Solo mengenal Busri —atau dibaca “Mbusri”. Istilah yang merupakan akronim dari buri Sriwedari atau belakang Sriwedari merupakan sebutan yang lazim untuk menyebut deretan kios pedagang buku di sepanjang Jl Kebangkitan Nasional, Kota Solo.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Setiap awal tahun ajaran baru, awal semester —dan dulu— juga awal caturwulan, keluarga-keluarga di Solo mengantarkan putra-putri mereka berbelanja buku di tempat itu. Harga buku yang lebih murah daripada harga pasaran jadi daya tarik kedatangan calon konsumen di tempat itu. Rabatnya bisa sampai 20% .
Rutinitas itu terjadi bertahun-tahun sejak dasawarsa 1980-an. Jika dikalkulasi kasar setiap awal semester ribuan warga Solo datang berbelanja buku di tempat itu, maka hingga kini —setelah jumlahnya dikalikan setidaknya 80 kali lipat— jumlahnya mencapai jutaan orang. Tak heran kebakaran puluhan kios di Busri, Rabu (31/7/2013), membuat banyak warga Solo bersedih hati.
Ramai kala Ramadan
Sriwedari yang terletak di wilayah Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Jawa Tengah itu sejatinya adalah kompleks taman yang digunakan Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk sejumlah kegiatan, seperti acara rutin Ramadan, Malam Selikuran. Eksistensinya tercatat sejak era Paku Buwana X.
Belakangan ini, lahan Sriwedari yang konon dibeli KRMT Wirjodiningrat, kakak ipar Paku Buwana X, dari seorang Belanda bernama Johannes Buselar pada 1877 itu jadi lahan sengketa. Sekitar 200 waris yang terbagi menjadi 11 kelompok berebut hak atas tanah itu dengan Pemkot Solo. Konflik hukum pertanahan itu berdasarkan catatan
Seiring berlalunya waktu, berbagai perubahan terjadi di taman dan segaran KRMT Wirjodiningrat itu. Pada tahun 1890 di sisi utara dibangun Dalem Kepatihan oleh Kanjeng Adipati Sosroningrat IV yang belakangan ini menjadi Museum Radyapustaka. Museum itu dikenal sebagai museum pertama di Indonesia.
Gedung wayang orang juga dibangun di tempat 103 tahun yang lalu. Di sisi barat kompleks itu sempat digelar pekan olahraga nasional (PON) pertama pada tahun 1948 yang menjadikan lokasi itu kini dilengkapi stadion yang belakangan dinamai R. Maladi, sesuai nama tokoh olahraga nasional yang menggagas PON di tempat itu.
250 Meter
Kompleks Sriwedari belakangan juga dimanfaatkan sebagai taman hiburan rakyat, pusat jajanan serba ada yang dipadukan kios-kios seni. Di tepi selatan kompleks Sriwedari yang menghadap Jl. Kebangkitan Nasional, berderet empat blok deretan kios. Hingga 2010 lalu, media massa lokal mencatat ada 97 kios di tempat itu.
Deretan kios yang panjangnya mencapai 250 m itu umumnya dimanfaatkan untuk toko buku. Ada juga yang memanfaatkannya untuk menjual jasa pengetikan, bahkan juga jasa cukur.
Deretan kios itulah yang kondang sebagai Busri atau Mbusri. Bukan hanya karena buku-buku baru di tempat itu kerap kali dijual dengan harga lebih murah, tetapi mereka juga menawarkan buku-buku bekas untuk pelbagai keperluan. Jika tak mampu membeli yang baru, sebagian keluarga memilih membelikan buku bekas bagi putra-putri mereka.
Siswa yang sedang ketiban tugas membikin kliping biasanya berlama-lama di tempat untuk menyeleksi majalah bekas. Para mahasiswa pemalas kerap terlihat cermat memelototi tumpukan buku bekas demi mendapatkan tugas kuliah, bahkan skripsi bekas di kios-kios itu.
Yang membuat Busri atau Mbusri itu kondang di pelbagai wilayah adalah banyaknya buku bekas yang terbilang langka ditawarkan pedagang di tempat itu. Tak heran para kolektor buku dari berbagai kota akrab dengan tempat itu, mereka juga membawa pulang kenangan dan kisah indah dari Kota Bengawan.