Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
Massa aksi yang datang kali itu memang tak bersamaan. Ada yang jalan kaki, ada yang naik motor butut, ada yang numpang pikap, ada pula yang naik sepeda ontel. Namun, mereka datang digerakkan oleh perasan yang sama dan rasa simpatik yang sama, yakni membela walikota Jokowi. “Lha iya, dulu jargon Bibit Bali Desa Mbangun Desa. Kenyataanya, malah Bali Desa Ngrusak Solo,” celetuk Guntur, peserta aksi lainnya sambil menenteng bekas pamflet kampanye Bibit Waluyo saat maju menjadi Gubernur Jawa Tengah tahun 2008 silam. Dalam bekas pamflet itu, tentu saja jargon Bibit sudah diplesetkan menjadi Bali Desa Ngrusak Solo.
Ya, aksi warga Solo anti Bibit kali itu memang terasa lain. Selain digelar bersamaan dengan kedatangan Bibit Waluyo ke Solo, aksi itu seakan menjadi ajang refleksi bersama atas dua kepemimpinan kepala daerah, yakni Bibit Waluyo vs Jokowi. “Kalau Jokowi yang jelas sekali prestasinya dibilang bodoh, lha terus Bibit itu apa ya?” tanya Harno setengah berseloroh.
Namun, jauh dari lubuk hati mereka, peserta aksi anti Bibit itu sebenarnya bukan bermaksud membalas kata-kata bodoh Bibit Waluyo. Mereka sebenarnya justru ingin menyampaikan pesan betapa kepemimpinan Jokowi selama ini sangat menyatu dengan kehidupan warga Solo. Dengan gaya kejawaan Jokowi, lontaran kata bodoh itu justru kembali kepada yang melontarkannya. “Itulah ilmunya Jokowi. Ibaratnya kampanye, Jokowi sekarang itu dapat biaya gratis,” gelak Harno. Setelah itu, ia pun menyambar pengeras suara di atas mobil pikap dan berorasi lantang menentang pembangunan mal di bekas Pabrik Es Saripetojo, Purwosari.
Aries Susanto