Esposin, SOLO--Jejak leluhur Tionghoa di Kelurahan Jayengan terasa hingga sekarang. Masyarakat dapat melihatnya dari beberapa cagar budaya yang ada di tempat tersebut, salah satunya di ndalem Hardjonegaran.
Memilliki luas sebesar 2.000 meter persegi, Dalem Hardjonegaran dulunya merupakan rumah kediaman Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonegara atau yang lebih dikenal sebagai Go Tik Swan.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Saat Esposin mengunjunginya pada Kamis (9/11/2023), tampak ratusan arca-arca dan benda kuno tertata rapi di kompleks tersebut.
Cagar budaya tersebut terdiri atas satu bangunan utama, pendapa besar berisi arca-arca budaya, sentra membatik, mewarna batik, dan sentra pembuatan keris serta tempat-tempat menyimpan keris-keris kuno.
Kini, cagar budaya tersebut terbuka bagi siapapun yang ingin mengunjunginya maupun bagi yang ingin belajar batik. Tempat tersebut terawat berkat usaha penerus Panembahan Hardjonegaran, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Hardjosoewarno, bersama istrinya, Supiyah.
Batik yang lahir di Dalem Hardjonegaran bukanlah batik biasa. Panembahan Hardjonegara berhasil melahirkan Batik Indonesia. Batik ini kini dilestarikan oleh keluarga KRA Hardjosoewarno.
"Batik Indonesia tidak seperti batik Solo, ada konsep Nunggak Semi yang mengawinkan gaya batik klasik Keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan gaya batik pesisir utara Jawa Tengah. Introvert dikawinkan dengan ekstrovert," ujar KRA Hardjosoewarno saat berbincang dengan Esposin, Kamis.
Ada kekhasan corak dalam Batik Indonesia karya KRT Hardjonegara yang Esposin lihat dalam karya-karya di dalam Dalem Hardjonegaran. Batik tersebut juga tengah dikenakan oleh KRA Hardjosoewarno saat ditemui Esposin, memiliki dominasi warna hitam dengan corak batik berwarna biru pekat.
Goresan motifnya tampak tegas dan elegan, tetapi tanpa banyak detail sudah mampu menceritakan kekayaan budaya Indonesia. Hal itulah yang Esposin dapatkan dari mengamati beberapa karya Batik Indonesia.
KRA Hardjosoewarno menjelaskan Batik Indonesia lahir dari arahan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, sebagai upaya menyatukan batik. Hal tersebut terjadi pada 1955.
Sumbangsih Soekarno dalam mengembangkan budaya di Dalem Hardjonegaran sendiri tidaklah sedikit. Dia juga mendorong pengembangan keris di tempat tersebut meskipun setelah Indonesia merdeka tidak ada lagi Empu pembuat keris.
KRT Hardjonagoro lahir sebagai putra sulung keluarga Tionghoa yang masuk golongan Cabang Atas atau priyayi Tionghoa di Solo.
Lahir dengan nama Go Tik Swan, dia diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik di Solo. Kakek KRT Hardjonagoro sendiri memiliki empat tempat pembatikan, dua di Kratonan, satu di Ngapeman, dan satu lagi di Kestalan.
Tik Swan biasa bermain di antara para tukang cap, dengan anak-anak yang membersihkan malam dari kain dan mencucinya. Dia juga sering bermain dengan mereka yang membubuhkan warna cokelat dari kulit pohon soga, serta orang yang menulisi kain dengan canting.
Ketertarikannya dengan budaya Jawa semakin tumbuh saat dia senang mendengarkan tembang dan dongeng Dewi Sri serta berbagai cerita tradisional Jawa. Orang-orang itulah yang membuat Tik Swan belajar mengenal macapat, pedalangan, gending, Hanacaraka, dan tarian Jawa.
Kecintaannya pada budaya membuatnya membangkang dari keinginan orang tuanya tentang studi lanjut. Tik Swan diam-diam masuk jurusan Sastra Jawa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, meskipun orang tuanya ingin dia kuliah di Fakultas Ekonomi kampus tersebut.
Menurut cerita KRA Hardjosoewarno, Tik Swan kemudian tidak mendapat dana dari orang tuanya untuk meneruskan kuliahnya.
"Saya sendiri awalnya hanya mbaturi Kanjeng, tetapi saya jadi sangat dekat dengannya dan tahu perkembangannya hingga bisa meneruskan Batik Indonesia," ujar KRA Hardjosoewarno.
Dalem Hardjonegaran masih memiliki 15 pembatik dan dua penggambar untuk meneruskan usaha Batik Indonesia. Para pekerja tersebut juga bergotong royong merawat cagar budaya tersebut.
Salah satu pekerja dan penggambar di Dalem Harjonegaran, Rochmadi, mengaku Batik Indonesia memiliki pakem yang jelas dan berbeda dengan batik Solo, hal tersebut menjadi kekhasan produk mereka.
"Di sini kondisinya berbeda setelah Corona, dulunya 15 pembatik hadir setiap hari membatik bersama. Sekarang mereka memilih bekerja dari rumah dan yang membatik di sini hanya 4 orang atau kurang. Sementara itu untuk perajin kerisnya tidak ada lagi karena memang jumlahnya semakin sedikit," ujar Rochmadi.
Namun, Dalem Hardjonegaran masih memiliki seluruh peralatan untuk membuat keris. Rochmadi berharap tempat itu bisa ramai kembali menjadi pusat pembuatan keris di Solo.