WONOGIRI - Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Wonogiri akan membangun buffer alias penyangga berupa tanaman atau tembok di ujung bawah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ngadirojo. Buffer tersebut untuk mencegah pecahan kaca masuk ke persawahan warga.
Sayangnya, rencana tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. DPU mengaku masih harus menunggu penyusunan detail engineering design (DED) yang dianggarkan tahun 2013 ini. Seperti diketahui, warga di tiga dusun di sekitar TPA Ngadirojo mengeluhkan pecahan kaca, bau dan lalat dari TPA itu. Kepala Bidang (Kabid) Kebersihan dan Pertamanan, Toto Prasojo, mewakili Kepala DPU Wonogiri, Sri Kuncoro, menjelaskan kawasan di dekat kolam instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di TPA Ngadirojo membutuhkan buffer agar pecahan kaca atau kotoran padat lain tidak masuk ke sawah warga yang berbatasan langsung dengan kolam.
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
“Saluran air yang menuju kolam memang terjal sehingga dimungkinkan pecahan kaca dari TPA masuk ke sawah warga,” jelas Toto, Kamis (3/1/2013). Buffer yang bisa berupa tanaman dengan karakteristik rapat, potongan bambu yang juga diatur rapat, atau dinding bata tersebut harus dibangun dengan ukuran paling tidak dua kali lebar saluran air. Jika saluran air di lokasi setempat memiliki lebar 2-3 meter, maka panjang buffer itu semestinya minimal 4-6 meter. Toto menambahkan rencana pembuatan buffer tersebut akan masuk dalam DED yang disusun 2013.
DED TPA Ngadirojo rencananya melibatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pe. Kegiatan ini mendapat dukungan anggaran Rp250 juta dari APBD 2013. Toto menyebut DED itu tidak hanya memberi solusi atas persoalan masuknya pecahan kaca ke sawah warga melainkan juga menghasilkan rencana masa depan penanganan TPA terbesar di Wonogiri tersebut. “Nanti kami juga akan minta diteliti bagaimana kadar zat beracun yang mungkin ada di TPA. Jadi kami bisa menentukan langkah ke depan,” ujar dia.
Terkait lalat, Toto mengatakan mulai 2012 pihaknya menerapkan pengolahan sampah dengan metode pengolahan sampah berlapis alias control landfill. Dengan metode ini, sampah dimasukkan dalam lubang dengan kedalaman 1-3 meter dan ditumpuk sampai setinggi 60 cm. Di atas sampah ditaburkan tanah dengan ketinggian minimal 20 cm. Cara semacam itu selain efektif mendorong pembusukan sampah juga memutus siklus hidup lalat lantaran bisa membunuh telur lalat. Sayangnya, metode ini baru bisa mengkaver sebagian kecil sampah karena peralatan ekskavator yang dibutuhkan untuk keperluan tersebut baru dibeli pada 2012.
Lebih jauh, Toto melanjutkan TPA Ngadirojo yang setiap hari menampung sedikitnya 200 meter kubik (m3) sampah dari sedikitnya tujuh kecamatan tersebut menjadi sumber pendapatan puluhan pemulung. Kebiasaan para pemulung yang merupakan warga setempat itu terkadang memancing datangnya lalat. “Bulu unggas, lalu tulang ayam, itu berpotensi mengundang lalat. Tapi oleh mereka dikumpulkan dan dijemur di sekitar TPA. Bulu ayam dijual Rp1.300/kg. Ini menjadi salah satu sebab lalat di mana-mana,” bebernya.
Terkait hal itu, dia meminta semua pihak, termasuk masyarakat setempat mau mendukung upaya DPU mengatasi masalah sampah TPA. Di sisi lain, Kades Terpilih Kerjo Lor, Laura Isabella, yang mendapat keluhan warga terkait TPA Ngadirojo mengatakan siap bekerja sama jika DPU ingin bersama-sama warga mengatasi masalah tersebut.