Sekitar pukul 09.00 WIB, mereka berbaris dan berjalan menuju panggung yang telah disiapkan untuk prosesi. Tiga ekor gajah yang memimpin barisan tersebut. Gajah itu milik Pemerintah Kabupaten Wonogiri yang berada di WGM. Di belakang gajah, ada barisan yang membawa enam macam pusaka. Ada yang berupa keris, tombak dan gong.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Pusaka itu merupakan milik Keraton Mangkunegaran yang disimpan di tiga kecamatan di Kabupaten Wonogiri. Tiga pusaka yang disimpan di wilayah Kecamatan Selogiri yakni Kyai Korowelang yang berupa keris. Juga dua buah tombak yang masing-masing bernama Kyai Totok dan Kyai Jaladara. Sedangkan di Kecamatan Girimarto, ada satu keris yang bernama Semar Tinandu dan tombak yang bernama Kyai Limpung. Juga ada satu pusaka berupa gong yang diberi nama Kyai Mendung Eko Doyo Wilogo yang disimpan di Pendapa Rumah Dinas Bupati Wonogiri.
Sesampainya di panggung, dilakukan prosesi serah terima dari Pemkab ke keluarga Keraton Mangkunegaran yang akan menyucikan atau menjamas keenam pusaka tersebut. Di lokasi jamasan, tersedia beberapa tembokor yang diisi dengan berbagai jenis bunga yang disebut kembang setaman. Di dekatnya ada beberapa anglo kecil yang diisi dengan arang dan sesekali ditaburi bubuk kemenyan yang mengeluarkan aroma yang khas.
Saat itu, ada seorang perempuan paruh baya yang setia menunggu prosesi jamasan hingga selesai. Ia pun rela berdesak-desakkan dengan pengunjung lainnya di lokasi jamasan. Mujiyem, 70, yang merupakan warga Bantarangin, Kecamatan Wonogiri itu sengaja menunggu hingga prosesi selesai agar ia bisa mendapat kembang setaman yang digunakan mencuci pusaka.
“Setiap tahun saya selalu kesini [acara jamasan pusaka]. Saya mau minta bunga [kembang setaman] untuk disimpan dan dikeringkan. Saya percaya bunga itu berkhasiat. Dulu, saat cucu saya sakit, bunga itu dimasukkan ke dalam air dan dioleskan di bagian tubuh yang sakit. Cucu saya akhirnya sembuh,” kata Mujiyem dalam Bahasa Jawa. Oleh sebab itu, Mujiyem tidak mau ketinggalan untuk mendapatkan bunga itu kembali.
Di sisi lain, Pengageng Wadana Satria Keraton Mangkunegaran, Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Lilik Priarso Tirtodiningrat, mengatakan makna jamasan pusaka tersebut sebagai wujud pembersihan diri. Yakni saat memasuki tahun baru Jawa atau 1 Suro yang dalam penanggalan Islam disebut 1 Muharram.
“Pusaka merupakan salah satu wujud jati diri manusia. Membersihkan pusaka berarti membersihkan diri untuk memulai tahun baru dan harapan baru agar menjadi manusia yang lebih baik,” ujarnya saat ditemui wartawan di sela-sela acara, Minggu.
Menurutnya prosesi ini tidak harus di waktu tertentu, yang penting masih dalam bulan Suro. Hanya, prosesinya dilakukan setelah prosesi jamasan pusaka di dalam Keraton Mangkunegaran. Lilik menyatakan jumlah pusaka milik Keraton Mangkunegaran ada puluhan. Tapi, yang berada di luar Solo hanya ada di dua kabupaten yakni Wonogiri dan Karanganyar. Pusaka itu merupakan peninggalan dari Raden Mas (RM) Said saat Perjanjian Salatiga.
Selain acara jamasan pusaka, juga ada acara ruwatan yang diikuti 17 orang perserta terdiri atas lima orang laki-laki dan 12 orang perempuan. Hiburan lain berupa wayang kulit dan Jaran Kepang. Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Wonogiri, Pranoto, saat mengatakan pemilihan waktu jamasan sengaja pada hari Minggu untuk menarik pengunjung agar datang ke WGM.