Langganan

Istimewa! Freeday Night di SMG Hadirkan 3 Perempuan Tangguh Pendobrak Stigma

by Candra Septian Bantara  - Espos.id Solopos  -  Minggu, 29 September 2024 - 19:17 WIB

ESPOS.ID - Jurnalis Solopos, Ika Yuniati (paling kiri); Driver Ambulans, Kusyani; Driver Ojek Online, Grace Dian Wijayanti; dan Dosen sekaligus Pegiat Disabilitas, Anni Aryani saat menjadi pembicara dalam Diskusi Perempuan Berbicara Perempuan Berdaya yang digelar Solopos Media Group (SMG) bersama komunitas kebaya Kuthubaru Itu Kita di Griya Solopos, Laweyan, Solo, Jumat (27/9/2024).

Esposin, SOLO -- Diskusi Freeday Night di Multifunction Hall Radya Literasi Solopos Media Group (SMG), Laweyan, Solo, Jumat (27/9/2024) malam, lebih istimewa dengan menghadirkan tiga perempuan tangguh pendobrak stigma.

Dipandu Jurnalis Solopos, Ika Yuniati, acara berlangsung hidup dan penuh semangat. Sesuai tema yakni Perempuan Berbicara Perempuan Berdaya, diskusi itu menghadirkan tiga sosok perempuan inspiratif.

Advertisement

Pertama, Kusyani yang merupakan driver ambulans, Grace Dian Wijayanti yang seorang driver ojek online, dan Anni Aryani yang merupakan dosen dan pegiat disabilitas. Melalui caranya masing-masing, para perempuan ini dengan penuh keberanian melawan stigma-stigma negatif perempuan di mata masyarakat. 

Kusyani contohnya, melalui komunitas kerelawanan Gas Resque yang sudah ia bentuk selama delapan tahun, ia mengabdikan uang, waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Advertisement

Kusyani contohnya, melalui komunitas kerelawanan Gas Resque yang sudah ia bentuk selama delapan tahun, ia mengabdikan uang, waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Bahkan perempuan kelahiran Karanganyar tersebut menjadi salah satu driver ambulans di komunitasnya, pekerjaan yang dianggap sangat tidak identik dilakukan perempuan.

Kusyani mengatakan awal-mula ia terjun ke dunia kerelawanan karena dorongan suaminya yang juga aktif di dunia yang sama. Kemudian, ia juga mengaku resah karena di sekitar rumahnya, Pasar Kliwon, Solo, banyak pemuda yang dianggap masyarakat sebagai “sampah” dan ia ingin memberdayakan mereka.

Advertisement

Melawan Diskriminasi

Kusyani mengaku tantangan besarnya terutama saat menjadi driver ambulans, yakni mendapatkan kepercayaan kepada masyarakat. Pada awal-awal menjadi driver ambulans, banyak orang yang memandangnya sebelah mata karena dirinya seorang wanita.

“Diremehkan seperti 'mosok wong wedok iso nyopir ambulans?' itu sering pada saat awal-awal. Tapi saya bisa membuktikan meskipun perempuan tidak cuma benges tok [modal lipstik/paras cantik]. Terbukti kini saya bersama komunitas bisa membantu dan memberi manfaat bagi banyak orang,” ujar dia.

Pembicara kedua, Grace Dyah Wijayanti, menceritakan pengalamannya yang tak kalah menantang selama tiga tahun menjadi driver ojek online (ojol) di usia yang sudah tidak muda lagi. Grace awalnya mengaku kepepet menjadi driver ojol karena usahanya berjualan gorengan tidak laku saat pandemi Covid-19 melanda.

Advertisement

Grace mengatakan sebagai driver ojol pernah beberapa kali mengalami tindakan diskriminasi oleh pelanggannya, hanya karena dia seorang perempuan.

“Saya itu pernah di-cancel pelanggan hanya karena saya perempuan padahal saya sudah tiba di lokasi. Kemudian pernah juga karena saya perempuan ada pelanggan tidak mau naik ojek saya tapi dia mau bayar ongkos saja. Lalu ada laki-laki, itu waktu saya bonceng merasa tidak nyaman atau tidak ikhlas,” kata dia.

Meski begitu, Grace tidak mau ambil pusing. Toh, menurut dia, selama tiga tahun lebih menjadi driver ojol dia juga masih bisa menjalankan tugas secara maksimal tanpa harus mengorbankan tanggung jawab lainnya di rumah seperti mengurus keluarga, aktif kegiatan PKK, maupun ikut aneka pelatihan.

Advertisement

“Saya itu ingin membuktikan perempuan tidak hanya bisa jadi tulang rusuk tapi juga bisa jadi tulang punggung,” tegas dia.

Membuka Perspektif Baru

Sama dengan Kusyani dan Grace, cerita Anni Aryani juga menjadi bukti kekuatan perempuan mendobrak stigma, khususnya bagi perempuan penyandang disabilitas. Anni harus duduk di kursi roda karena sempat mengidap Polio sewaktu kecil.

Namun dengan kegigihannya, Anni berhasil meraih gelar doktor di Australia dan kini menjadi dosen Akuntansi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Solo.

Sebelum menjadi dosen, Anni juga pernah mengalami pengalaman pahit berupa diskriminasi. Dia bercerita pernah ditolak bekerja karena dia perempuan ditambah kondisi tubuhnya yang tidak normal.

“Dulu itu sudah sampai tahap wawancara tapi ditolak oleh perwakilan perusahaan. Katanya 'Wanita kenapa tidak di rumah saja?'. Udah posisi saya perempuan difabel lagi, lengkap sudah pokoknya,” ungkap dia.

Namun pada akhirnya, dengan kegigihan dan kenekatannya melawan segala stigma dan diskriminasi, cita-citanya menjadi dosen tercapai. Ia berhasil membuktikan bahwa baik perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama dalam berkarier termasuk apakah dia normal atau difabel.  

Salah satu peserta yang hadir dalam diskusi tersebut, Kartika Sastra Aulia, menyambut positif diskusi ini karena bisa membuka perspektif baru soal kesetaraan gender dan isu-isu lainnya. Hanya saja, dia menyayangkan masih sedikit laki-laki yang ikut bergabung di acara seperti ini padahal menurutnya itu penting.

“Saya sebetulnya punya keresahan yang sama bahwa di kehidupan sehari-hari masih banyak anggapan bahwa wanita itu posisinya lebih rendah daripada laki-laki. Wanita tidak boleh bekerja, tidak boleh menempati posisi tertentu, wanita harus di rumah dan sebagainya. Nah lewat acaranya ini semua dibahas dengan baik. Sayang yang laki-laki dikit banget yang ikut,” kata dia saat ditemui Espos seusai acara.

Advertisement
Suharsih - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif