Esposin, SRAGEN—Sura bakal berakhir beberapa hari lagi. Sura memiliki makna tersendiri bagi orang Jawa, khususnya di wilayah Sragen atau daerah dengan sebutan Bumi Sukowati. Sura menjadi momentum bagi warga desa di Sragen untuk menggelar bersih desa/dusun dengan konsep berbeda-beda, seperti memerti dusun, bersih dusun, barikan, dan seterusnya.
Bersih dusun tersebut biasanya menggunakan atau memilih Jumat untuk pelaksanaannya. Hal itu disesuaikan dengan weton dusun atau desa yang bersangkutan. Seperti yang dilakukan warga Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen, yang dikonsep dengan Memetri Bumi Eyang Cokrojoyo atau Kanjeng Sunan Geseng dengan mengambil weton, Jumat Legi, atau tepat pada 2 Agustus 2024 lalu. Di Tegalrejo, Gondang, Sragen, juga menggelar Sedekah Bumi dengan seni kirab budaya juga mengambil weton, Jumat Legi.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Pada Sura, para penggemar pusaka tosan aji juga sering melakukan jamasan dan seterusnya. Ada juga yang melakukan prihatin dan tirakat ke tempat-tempat tertentu atau berziarah ke makam-makam tertentu.
Pemerhati Budaya yang juga Guru Sangpawara Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, K.P. Bumimaya Suseno Renggodipuro, kepada Esposin, Sabtu (3/8/2024), mengungkapkan Sura itu bagi orang Jawa masuk dalam bulan suci sehingga sehingga digunakan untuk bersih-bersih atau bersuci. Kalau dalam istilah Jawa, sebut Suseno, juga dimaknai sebagai reresik.
“Suci itu berarti resik atau bersih. Artinya, bersih secara lahir dengan cara membersihkan tubuh atau reresik wadag, seperti mandi, jamasan, dan seterusnya. Kemudian bersih secara batin atau reresik hati atau rasa, menyucikan niat, dan seterusnya. Caranya dengan puasa, tapa brata, tapa bisu, dan seterusnya,” ujar Suseno.
Dia melanjutkan dalam rangka reresik wadag itu ada orang yang melakoni mandi hanya setahun sekali, yakni ketika Sura saja. Dia mengatakan ada juga yang melakukan reresik pusaka, seperti keris, tombak, dan wesi aji lainnya, kemudian muncul tradisi jamasan pusaka saat Sura.
Di pedesaan, jelas Suseno, reresik dilakukan dalam konteks wilayah satu dusun atau desa sehingga ada yang menyebut dengan istilah Merti Desa, bersih desa, rasulan, reresik pasareyan atau makam, dan seterusnya. Dia menerangkan banyaknya masyarakat yang menggelar bersih dusun/desa dengan berbagai varian itu tujuannya untuk reresik wilayah.
“Semua tindakan dalam momentum Sura itu diniatkan untuk memasuki tahun baru Jawa yang dimulai dengan melakoni reresik lahir-batin. Harapannya semua bisa kembali suci sehingga bisa menemui kondisi yang baik,” ujarnya.
Suseno mengatakan kalau di Keraton Surakarta Hadiningrat biasanya ada jamasan pusaka, termasuk jamasan Nyai Setomi yang berada di Bale Manguneng Siti Inggil Keraton Surakarta. Di pedesaan, jelas dia, juga ada istilahnya barikan, yakni semacam bancakan yang dibagikan kepada semua orang yang datang. Dia mengatakan barikan itu menjadi sarana untuk tolak balak.
“Barikan ini bentuknya tidak baku, tergantung perintah dari para sesepuh yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan leluhur secara batin, sehingga mendapat semacam perintah atau wangsit. Barang yang digunakan dalam tradisi barikan itu tergantung perintah leluhur lewat sesepuh tadi. Wujudnya bisa macam-macam, ada padi, empon-empon, jagung, kacang hijau, sapu lidi, dan seterusnya,” ujarnya.