Esposin, SRAGEN -- Aksi partisipatif yang diinisiasi Pemkab Sragen untuk menutup lubang jalan alias jeglongan sewu serentak di 20 kecamatan, Jumat (3/3/2017), mendapat kritikan pedas dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Ketua Forum Masyarakat Sragen (Formas), Andang Basuki, mengatakan munculnya jeglongan sewu itu seharusnya menjadi tanggung jawab Pemkab karena merupakan bagian dari pelayanan publik. Dia menyampaikan kalau di luar negeri ada kecelakaan akibat lubang di jalan, pemerintah bisa digugat rakyat yang jadi korban.
Kalau di negeri ini, kata Andang, perangkat hukumnya belum siap. Karena menjadi tanggung jawab pemerintah, Andang menyatakan penambalan lubang-lubang itu mestinya diambilkan dari APBD atau APBN sesuai dengan status jalannya.
“Saya menilai apa yang dilakukan Bupati dengan menggerakkan masyarakat untuk menambal jalan itu bagian dari kebijakan partisipatif. Kebijakan itu diambil ketika Pemkab tidak berdaya dengan minimnya anggaran. Mestinya kebijakan partisipatif itu tidak hanya berlaku di jeglongan sewu tetapi juga pada masalah anggaran, perencanaan, dan seterusnya. Selama ini kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pemkab tidak menggunakan kebijakan partisipatif itu,” kata Andang kepada Esposin, Jumat.
Andang mengungkapkan negara atau pemerintah memiliki anggaran dan fasilitas untuk menutup jeglongan sewu itu bukan menggelar program dadakan menguruk lubang secara gotong-royong. Dia menyayangkan ketika pemerintah sambat soal anggaran baru berpartisipasi melibatkan rakyat. “Partisipasi publik itu terkesan dimanfaatkan untuk tujuan politis,” imbuhnya.
Andang mengatakan masyarakat awam ketika mendapati jalan rusak pasti menanyakan siapa Bupatinya dan apa respons Pemkab Sragen. Padahal status jalan rusak itu belum tentu milik Pemkab Sragen. Anggapan masyarakat itu, bagi dia, bisa dibenarkan karena kalau hanya menambal lubang itu sebenarnya bisa dilakukan Pemkab Sragen.
“Ketika anggarannya minim ya Bupati harus pandai-pandai berkomunikasi dengan Gubernur dan kementerian terkait untuk nyenggek anggaran,” kata Andang.
Koordinator Gerakan Reformasi Indonesia (Gerindo) Sragen, Agus Subagyo, menilai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tidak memiliki gebrakan apa pun tentang kerusakan jalan di wilayah Sragen, terutama jalan raya Solo-Purwodadi. Dia mengatakan instruksi Gubernur kepada Pemkab Sragen secara lisan agar melaksanakan kerja bakti menambal jeglongan sewu itu hanya mencari sensasi.
Dia menilai kebijakan itu baru kali pertama terjadi di era Gubernur Ganjar Pranowo. “Rakyat itu tidak butuh janji tetapi butuh kerja nyata dari pemimpinnya. Lihat saja kondisi infrastruktur, khususnya di jalan Provinsi Jateng, yakni Solo-Gemolong atau Solo-Purwodadi yang rusak. Padahal jalan itu jalan milik provinsi dan menjadi akses Presiden Joko Widodo ketika mengunjungi saudaranya di Sumberlawang, Sragen,” ujar Agus.
Dia menyampaikan jalan Solo-Purwodadi itu terlalu sempit dan berlubang. Dia mengungkapkan banyak kasus kecelakaan dengan memakan korban jiwa di sepanjang jalan tersebut. Dia berpendapat kapasitas jalan sudah tidak sesuai dengan padatnya kendaraan yang berlalu-lalang sehingga harus diambil kebijakan untuk pelebaran jalan.
“Pelebaran jalan Solo-Purwodadi itu mendesak dilakukan menjadi dua jalur. Pelebaran itu dilakukan supaya tidak terjadi kecelakaan lagi di sepanjang jalur padat itu,” imbuhnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mulyanto, menyampaikan status jalan itu ada kelas-kelasnya yang seharusnya diperbaiki dengan dana APBD atau APBN. Untuk wilayah paling kecil pun, kata dia, APBD tetap memberi dana stimulan yang kekurangannya diambilkan dari swadaya masyarakat.