Hal tersebut dikemukakan oleh Alpha Fabela Priyatmono selaku Ketua Forum Paguyuban Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) . “Kabarnya akan ada sejumlah hotel yang akan dibangun tahun ini. Peningkatan ini tentu harus signifikan dengan peningkatan atraksi wisata,” katanya.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Sayangnya, kesadaran warga terhadap potensi wisata di lingkungannya masih terbilang minim. Karena itulah, peran pemerintah dan forum pengembangan wisata dibutuhkan untuk menginisiasi berbagai potensi wisata baru di Solo dan sekitarnya. Alpha mencontohkan beberapa konsep yang bisa digali lebih jauh. Misalnya Kampung Perhiasan di Banjarsari atau Kampung Sangkar Burung. Sementara itu, di Kampung Laweyan sendiri, FPKBL pada 2004 lalu telah mengagas masterplan potensi wisata batik Laweyan yang meliputi kelurahan Sondakan, Bumi dan Pajang. Integrasi ini diharapkan mampu terwujud pada 2020 mendatang.
Menurut Arif Budiman Effendi, Humas FPKBL, Kampung Batik Laweyan kini memiliki tiga pilihan wisata, yaitu wisata batik, wisata edukasi, dan wisata heritage. Jumlah wisatawan yang tercatat bisa mencapai 750 hingga 1000 orang per bulan. “Tempat ini diminati karena sudah memproduksi batik pada abad 15,” katanya.
Sementara itu, M Makmun, salah satu pengurus Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman (PKWBK) mengatakan bahwa pembangunan hotel sebetulnya berdampak baik terhadap wisata. “Saya mengamati tempat tinggal saya di Kauman. Dulu tahun 2006 waktu Solo masih sepi, hanya ada 16 outlet batik. Sekarang sudah berkembang jadi 50 outlet,” katanya.
Makmun setuju bahwa peningkatan jumlah hotel dan harus diimbangi dengan perbaikan dan penyediaan fasilitas bagi wisatawan. Namun hal itu bisa berkembang seiring dengan antusiasme wisatawan yang datang tiap tahunnya.