Esposin, SOLO -- Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Solo dan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Pemkot Solo mendatangi apotek Kondang Waras dan gudang farmasi PT Brataco di Laweyan, Selasa (5/12/2017). Pemilik apotek mengaku pernah mendapati pasien membeli obat penenang tanpa resep dokter.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Pemilik Apotek Kondang Waras, Panularan, Laweyan, Soedjatmiko Jusuf, mengatakan apotek miliknya tidak menjual pil PCC karena sudah masuk obat terlarang dan izin edarnya sudah ditarik sejak 2013. Apotek menjual obat penenang, tetapi tidak dijual sembarangan.
“Kami tidak melayani pasien membeli obat penenang tanpa membawa resep dokter. Semua karyawan sudah diberitahu SOP [standar operasional prosedur] penjualan obat penenang,” ujar Jusuf kepada wartawan di Apotek Kondang Waras, Selasa.
Jusuf mengatakan obat penenang ini ditempatkan di lemari khusus. Karyawan yang mengeluarkan obat tersebut dari lemari harus diketahui pemilik apotek. Ia menjelaskan obat penenang biasanya digunakan dokter untuk mengobati pasien yang punya riwayat sakit patah tulang untuk membantu menghilangkan rasa sakit.
“Kami jika menemukan pasien membawa resep dokter membeli obat penenang dengan dosis tidak wajar patut dicurigai. Apotek biasanya langsung menghubungi dokter bersangkutan untuk memastikan kebenaran resep,” kata dia.
Jusuf mengakui hampir setiap bulan menemukan kasus pasien membeli obat penenang tanpa didukung resep dokter. Rata-rata per hari ada sekitar lima sampai sepuluh kasus. Pasien kebanyakan remaja dengan usia 18 tahun sampai 20 tahun.
Sementara itu, Pimpinan Cabang PT Brataco, Bumi, Laweyan, Sadad Kadafi, mengatakan PT Brataco merupakan pabrik yang melayani penjualan bahan farmasi dan obat jadi. Perusahaan setiap melayani penjualan bahan farmasi harus disertai surat pernyataan bermaterai yang berisikan peruntukan untuk apa, menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan pembeli harus difoto wajahnya untuk dokumentasi.
“Kami pernah didatangi anggota Densus 88 karena ada terduga teroris yang membeli bahan kimia untuk membuat bom di PT Brataco. Setelah kasus itu perusahaan lebih memperketat pembelian bahan farmasi,” kata dia.