Esposin, SOLO—Buku Citra Catra (2024) yang dibedah dalam serangkaian acara Festival Payung Indonesia (Fespin) 2024 di Taman Belekambang Solo, Sabtu (7/9/2024) menjadi pengingat tentang ragam payung di Indonesia.
Editor Buku Catra Citra, Kurnia Effendi, mengatakan ini merupakan ketiga kalinya Fespin mengeluarkan buku tentang payung di Indonesia. Sebelumnya sudah lahir buku Payung Tradisi Nusantara (2022) dan Sepayung Bumi (2023). Ketiga buku itu menjadi upaya untuk merawat ingatan kita tentang keberadaan payung sebagai benda pusaka selayaknya keris.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Tahun ini Fespin menerbitkan buku Catra Citra yang merupakan katalog foto payung tradisi di Indonesia. Effendi mengatakan dalam buku itu berhasil menghimpun payung tradisi sebanyak 24 dari 38 provinsi.
“Mulai dari Aceh dan Papua ada. Termasuk Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Bangka Belitung. Kalau di Jawa ada dari Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lombok, sampai Papua,” kata dia ketika berbincang dengan Espos.id, Sabtu.
Effendi menceritakan salah satu yang unik adalah payung dari Wonosobo bernama Bundengan. Sebetulnya Bundengan itu lebih lekat disebut sebagai alat musik. Namun Effendi mengatakan mulanya Bundengan adalah payung.
Bundengan yang juga dipamerkan di Fespin 2024 itu memiliki bentuk menyerupai perahu. Bahan dasarnya adalah anyaman bambu, ijuk, dan ada senar yang mampu menghasilkan nada.
“Di Wonosobo ada payung yang berubah menjadi alat musik. Mungkin tadinya itu iseng aja tapi itu menjadi sesuatu yang menarik. Jadi bentuknya seperti perahu, kalau dipakai moncongnya seperti bebek, berada di depan,” kata dia.
Buku Catra Citra pada dasarnya berupaya mendokumentasikan bentuk payung beserta narasi bagaimana payung itu bisa ada. Namun, dia mengatakan sangat sulit menghimpun payung tradisi yang ada di 38 provinsi.
“Mengumpulkan dokumen tentang payung ini sulit karena itu merujuk pada peradaban. Artinya ada beberapa yang sudah punah, terus bagaimana cara menceritakannya. Ada foto tapi samar-samar,” kata dia.
Ketua Tim Buku Fespin, Maya Dewi mengatakan salah satu payung tradisi yang sulit diketahui bentuk aslinya adalah payung dari Sulawesi Tengah. Dia mengatakan di sana sudah tidak ada pembuat payung tradisi, sehingga para pengrajin hari ini membuat ulang berdasarkan catatan yang ada.
“Karena tidak ada lagi pengrajin, mereka [para pengrajin baru] mengkombinasikan payung modern tapi tudungnya ditambahkan ornamen berdasarkan nilai-nilai tradisi. Artinya mereka tetap butuh media untuk terus merawat tradisi,” kata dia
Payung itu dimiliki oleh Suku Kaili dari Sulawesi Tengah yang dominan dengan warna kuning. Maya mengatakan warna kuning diartikan sebagai lambang kebaikan dan pola pikir yang bijak. Payung ini biasa hadir di upacara adat dan upacara pernikahan.
Buku ini melibatkan puluhan penulis dari berbagai provinsi di Indonesia yang tergabung dalam komunitas Nulis Aja Dulu. Para penulis kebanyakan merupakan warga lokal yang menjelaskan tentang keberadaan payung di daerah masing-masing.