Esposin, BOYOLALI -- Wilayah Boyolali masuk kategori desain seismik (KDS) D atau berpotensi terdampak gempa besar. Karenanya pembangunan gedung harus memperhatikan struktur atau konstruksi serta penggunaan material yang tahan gempa.
Hal itu terungkap dalam sosialisasi bertajuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi melalui Pelatihan Konstruksi Tahan Gempa sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Gempa di ruang rapat Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Boyolali, Rabu (14/8/2024).
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Sosialisasi yang digelar tim riset SMARTCrete dan SMARTQuake Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu diikuti puluhan peserta mulai dari konsultan, kontraktor (pelaku usaha konstruksi), dan pegawai DPUPR Boyolali.
Pemateri dalam sosialisasi itu dari Program Studi (Prodi) Teknik Sipil UNS Solo yang juga anggota tim riset, Edy Purwanto. Edy menyampaikan Boyolali masuk kategori desain seismik (KDS) D.
“Itu adalah kategori gempa besar. Jadi semua harus paham ada syarat material beton, baja, dan detailing yang harus ditaati untuk semua tipe penggunaan bangunan,” ujar dia saat ditemui wartawan seusai acara.
Sosialisasi tersebut, tutur Edy, bisa dikatakan sebagai mitigasi yang secara langsung disampaikan kepada para konsultan, kontraktor, dan dinas yang menangani pembangunan di Boyolali. Sehingga nantinya bangunan yang didesain sudah memenuhi SNI tentang gempa karena telah dilatih, dididik, dan diberi pengertian.
Edy mengatakan walau telah ada aturan yang mengatur soal bangunan yang tahan gempa, ia menemukan di lapangan masih banyak penyimpangan dan belum menerapkan aturan SNI. “Contohnya penggunaan baja yang polos masih dominan. Padahal di SNI enggak boleh, harusnya baja ulir,” kata dia.
Ia mengatakan baja ulir memiliki daya lekat yang lebih tinggi. Sehingga interlock antara beton dan baja bisa menjadi satu kesatuan. Ketika baja polos yang digunakan, baja dan beton bakal mudah selip sehingga tidak bisa bekerja.
6 Tingkatan KDS
Lalu, terkadang pembuatan beton juga bukan oleh orang yang memiliki kualifikasi. Sehingga mutu yang didapatkan sangat jauh bahkan kurang dari 50% dari yang disyaratkan dalam SNI. Edy mengungkap mutu yang disyaratkan SNI yaitu 21 Mpa, sedangkan yang dibuat berkualifikasi di bawah 10 Mpa.Selanjutnya, ia menjelaskan sosialisasi mitigasi gempa bumi melalui pelatihan konstruksi tahan gempa sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) itu baru kali pertama digelar di Boyolali.
Walaupun begitu, ia mengatakan tim riset SMARTCrete dan SMARTQuake UNS Solo telah ada sekitar lima tahun yang lalu dan melakukan roadshow di beberapa kabupaten/kota. “Kami sudah roadshow ke Banyuwangi, lalu di Pacitan sudah empat kali, di Karanganyar, dan tahun ini di Boyolali,” kata dia.
Ia menjelaskan lokasi roadshow tim riset dari Fakultas Teknik UNS tersebut menyasar daerah-daerah yang memang memiliki KDS berat. Edy mengungkapkan ada enam tingkatan KDS yaitu A, B, C, D, E, dan F.
Kategori ringan seperti A, B, dan C berada di sebagian besar wilayah Kalimantan sehingga gempanya ringan. Daerah selain Kalimantan, tutur Edy, rata-rata masuk kategori gempa berat seperti Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, sampai Papua.
Ia mengatakan KDS di Papua bahkan ada yang kategori F karena ada pertemuan lempeng bumi di darat. Hal itu berpotensi ada gempa megathrust di atas Magnitudo 8.
“Kami itu kasihan kalau ada berita itu terus masyarakat hanya diberikan berita bahaya tanpa ada pendidikan bagaimana supaya aman,” kata dia.
Tim riset UNS SMARTCrete dan SMARTQuake akhirnya masuk memberikan pendidikan bagaimana bersahabat dengan kondisi yang tidak aman tersebut.
Pedoman Teknis Konstruksi Tahan Gempa
Soal pelaku jasa konstruksi yang masih menggunakan material bangunan belum sesuai SNI tentang gempa, Edy mengatakan kemampuan beberapa pelaku jasa konstruksi tidak melalui jalur ilmu yang benar sebab rata-rata hanya turun temurun.“Pelaku usaha konstruksi harus mengikuti aturan itu agar ketika ada gempa, bukan hanya mencatat robohnya rumah berapa, yang meninggal berapa. Jangan sampai itu terulang terus,” kata dia.
Ia mengungkap timnya telah melakukan berbagai survei di beberapa wilayah seperti Klaten, Karanganyar, Grobogan, Pacitan, Wonogiri, dan sebagainya. Rata-rata mutu beton yang digunakan pada bangunan di wilayah itu sangat jelek.
Edy mengatakan rata-rata bangunan roboh karena desainnya salah. Dalam ilmu teknik sipil, tutur Edy, bangunan boleh rusak tetapi tidak boleh roboh. Padahal, ketika bangunan roboh bakal menimbulkan korban harta dan jiwa.
“Harapannya dengan sosialisasi kami, ada peningkatan kapasitas dari pelaku jasa konstruksi untuk bangunan yang tahan gempa, yang aman, dan tidak roboh,” harap dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Cipta Karya DPUPR Boyolali, Yovi Hardianto, menjelaskan saat ini DPUPR Boyolali menggunakan pedoman teknis bangunan tahan gempa tahun 2006 dan 2016 yang sama-sama dirilis Kementerian PUPR yaitu Permen PU Nomor 5 Tahun 2016.
“Kami sudah menerapkan itu [Permen PU Nomor 5 Tahun 2016]. Memang untuk SNI 2019 sedikit lebih detail. Sehingga nanti ke depan kami akan merujuk pada SNI tersebut,” kata dia.
Yovi mengatakan Boyolali masuk risiko tinggi gempa. Sehingga penyusunan desain bangunan harus mengakomodasi tahan gempa dengan risiko tinggi. Ia berharap sosialisasi serupa bisa dilakukan untuk menambah ilmu para konsultan bangunan dan jasa konstruksi.