Esposin, SOLO -- Cerita asal-usul terbentuknya wilayah Jebres, Solo, bersimpul dengan cerita Perang Jawa yang dipelopori Pangeran Diponegoro pada abad ke-19. Kisah itu dipercaya dan masih dilestarikan oleh masyarakat Jebres.
Salah satunya dengan menggelar acara Babad Kademangan Jebres, rangkaian acara memperingati sejarah berdiri Jebres yang berlangsung selama tiga hari mulai Kamis (12/9/2024) hingga Sabtu (14/9/2024).
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Lewat serangkaian panjang acara yang digelar selama tiga hari itu, warga Jebres diajak untuk terus mengingat asal-usul dareah mereka. Acara dimulai dengan Umbul Dungo Kembul Bujana pada Kamis. Rangkaian acaranya berupa ziarah ke makam Mbah Jebres di Pedaringan pada pagi hari.
Kemudian kirab budaya, umbul dungo, panembrono, dan kembul bujana pada malam hari. Pada Jumat, acara juga berlangsung malam hari yang diisi dengan pertunjukan seni dari warga maupun anak-anak sekolah.
Terakhir pada Sabtu ada Sendratari di Taman Cerdas Jebres. Sendratari digawangi warga serta mahasiswa ISI Solo. Lurah Jebres, Renyta Ina Wijaya, menyampaikan Babad Kademengan Jebres digelar tiap tahun dengan tujuan agar warga Jebres tetap mengingat identitasnya.
Selain itu bagi para pendatang, terutama mahasiswa juga agar mengetahui sejarah daerah yang menjadi tempat tinggal mereka.
“Kami di Kelurahan Jebres selalu menggelar Babad Kademengan Jebres dalam rangkaian panjang acara. Tahun ini digelar selama tiga hari,” kata Renyta saat berbincang dengan Espos.id di Taman Cerdas Jebres, Kamis (12/9/2024) malam.
Meneladani Tokoh Pendiri Wilayah
Dia berharap dengan acara tahunan itu mampu berdampak bagi masyarakat Jebres agar tetap ingat asal usul daerahnya serta berdampak bagi ekonomi masyarakat Jebres dan sekitarnya.“Dengan memahami asal usul, masyarakat akan memahami identitas sehingga dari situ diharapkan mampu menjadi bijaksana seperti tokoh yang dipercaya sebagai pendiri Jebres ini,” ujarnya.
Ketua Penyelenggara Babad Kademengan Jebres, Hari Sapto, menyampaikan acara tahun ini relatif lebih sederhana. “Tahun-tahun sebelumnya ada Kirab Pusaka yang meriah dari Taman Lansia sampai Kantor Kecamatan Jebres,” kata dia.
Tahun ini, kirab meriah itu ditiadakan. Sebagai gantinya, pusaka-pusaka yang dianggap sebagai peninggalan Ki Joyo Mustopo, tokoh yang berperan pada terbentuknya wilayah Jebres, itu hanya arak secara sederhana dari luar Taman Cerdas Jebres menuju taman.
Puncak acara pada Sabtu (14/9/2024) malam, Kelurahan Jebres bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo menampilkan sendratari cerita Babad Kademangan Jebres. Sendratari itu akan menceritakan babak demi babak sejarah berdirinya Jebres.
“Ada setidaknya 80 penari yang akan bermain nantinya. Namun bintang utama dari sendratari itu spesial, Ibu Lurah Jebres yang memerankan Srimpi,” jelasnya.
Mengenai cerita sejarah dan asal usul Jebres, tokoh masyarakat Jebres, Joko Supriyanto, mengatakan tak bisa lepas dari peristiwa Perang Jawa pada 1825-1830. Kala itu, Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB VI) yang waswas perang Belanda melakukan ekspansi ke wilayah timur membentuk pasukan khusus telik sandi.
Kisah Telik Sandi Perang Jawa
Tugas pasukan khusus itu adalah mencari informasi tentang pergerakan Belanda. Terbentuklah laskar telik sandi dengan Ki Joyo Mustopo sebagai pemimpin pasukan, sementara wakilnya Suryo Padmo Negoro.Laskar telik sandi itu mendapat peralatan lengkap dari PB VI untuk menjalankan tugasnya, salah satunya teropong untuk melihat dari kejauhan, tepatnya dari Gunung Kendil ke arah Yogyakarta.
Selain itu, juga ada kuda yang memungkinkan pemimpin laskar telik sandi memberi laporan terkini atas situasi dan kondisi pergerakan Belanda. “Ki Joyo Mustopo sering bertemu dengan PB VI karena tugasnya itu,” ungkap Joko yang mengaku keturunan kelima dari Ki Joyo Mustopo.
Singkat cerita, ketika Perang Jawa usai, Ki Joyo Mustopo mendapat satu tugas terakhir untuk menyisir dan memastikan keamanan di sekitar Surakarta masa itu. Saat kembali, ia menemukan dua orang Belanda yang berkeliaran.
“Kedua orang ini oleh Ki Joyo Mustopo dibawa ke Keraton Kesunanan Surakarta untuk diperiksa, mana tahu mereka adalah mata-mata Belanda. Tapi dari pemeriksaan ternyata mereka bukan mata-mata melainkan orang yang enggan terlibat dengan perang sehingga berkeliaran,” jelasnya.
Kedua orang tersebut dibiarkan hidup di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta. Salah satu orang Belanda itu bernama Victor J Pressen yang memperistri wanita Jawa. Tak hanya itu, Pressen dipercaya memiliki beberapa usaha berupa peternakan dan pabrik di sekitar Keraton.
“Karena itu, kemudian ada masyarakat menandai dan menyebut daerah yang ada peternakan dan pabriknya itu sebagai J-Press. Lama kelamaan, karena lidah [orang] Jawa sulit menyebutkan kata itu jadilah Jebres. Cerita itu sudah turun temurun disampaikan dalam keluarga saya. Saya sendiri mendapatkannya dari bapak saya,” kata dia.