Esposin, KLATEN–Sebanyak 25 kelompok dari berbagai kecamatan di Klaten mengikuti lomba gejog lesung yang digelar di Lapangan Barepan, Kecamatan Cawas, Sabtu (24/8/2024). Festival itu kembali digelar setelah beberapa tahun ditiadakan karena pandemi Covid-19.
Puluhan kelompok itu tampil bergantian membawakan dua lagu. Satu lagu wajib berjudul Lesung Jumengglung dan satu lagu pilihan di antaranya Ronda Kampung serta Gugur Gunung.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Masing-masing kelompok maksimal terdiri atas 11 orang. Mereka berbagi tugas. Ada yang menyanyi serta menari, ada yang memainkan musik gejog lesung. Mereka tampil mengenakan pakaian lurik. Ada yang memadukan harmonisasi musik gejog lesung dengan kentongan hingga angklung.
Di antara para peserta Festival Gejog Lesung, ada rombongan yang berisikan anak muda. Seperti peserta dari Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, yang tampil dengan pemain berisi anak usia SMA serta SMA.
Ada tiga juri yang menilai penampilan para peserta berasal dari akademisi serta pelaku seni. Kriteria penilaian di antaranya kekompakan, kostum, hingga harmonisasi. Festival digelar di Desa Barepan yang memiliki ikon gejog lesung. Di desa itu, hampir setiap kampung memiliki kelompok pemain musik gejog lesung.
Camat Cawas, Moh. Prihadi, mengatakan festival itu sudah berlangsung selama enam kali. Kali pertama digelar pada 2014 hingga 2019. Namun, selama beberapa tahun festival absen digelar karena pandemi dan kembali bergulir pada 2024.Jika sebelumnya festival hanya diadakan di tingkat kecamatan, kali ini festival digelar untuk tingkat kabupaten.
“Festival ini digelar dalam rangka memeriahkan Hari Jadi ke-220 Klaten dan HUT ke-79 RI sekailgus melestarikan budaya gejog lesung menjadi satu daya tarik wisata. Potensinya cukup banyak. Di Cawas hampir semua desa punya potensi komunitas. Tetapi kami tidak ingin festival ini hanya di tingkat Kecamatan Cawas, tingkat lokal. Oleh karena itu festival ditingkatkan di kabupaten,” jelas Prihadi saat ditemui di sela kegiatan.
Prihadi mengungkapkan rata-rata peserta terdiri atas ibu-ibu dan bapak-bapak. Namun, ada kelompok yang tampil berisikan anak muda. Hal itu menunjukkan ada regenerasi pemain musik gejog lesung. “Dari Kecamatan Cawas mengirimkan tim yang isinya anak-anak muda. Ini untuk pelestarian dan pengembangan ke depan kesenian ini,” jelas Prihadi.
Bupati Klaten, Sri Mulyani, mengungkapkan dulunya lesung digunakan sebagai alat untuk memisahkan padi dari tangkai dan kulitnya. Gabah kering dimasukkan dalam lesung kemudian ditumbuk dengan alu sehingga menimbulkan irama.
Seiring perkembangan teknologi, berkembang alat penggiling padi hingga lesung mulai ditinggalkan sebagai alat penumbuk padi. Di sisi lain, lesung mulai berkembang menjadi alat kesenian tradisional hingga menjadi alat musik gejog lesung.
Gejog lesung menjadi permainan musik akustik tradisional saat malam bulan pertama atau yang dikenal dengan malam terang bulan. Musik gejog lesung digunakan sebagai hiburan.
“Tetapi sangat disayangkan pesatnya perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebab lunturnya kecintaan generasi muda akan budaya bangsa khususnya seni musik gejog lesung yang memiliki nilai-nilai ungkapan syukur, penghormatan terhadap alam dan harmonisasi serta gotong-royong,” kata Mulyani.
Dia mengapresiasi digelarnya festival gejog lesung di Cawas Klaten tersebut. Kegiatan itu menjadi sarana untuk mengenalkan seni musik tradisional kepada generasi muda sekaligus mengenalkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.