by Farid Syafrodhi Jibi Solopos - Espos.id Solopos - Senin, 16 Februari 2015 - 04:50 WIB
Esposin, SOLO — Sebanyak 75 seniman dan budayawan dari Soloraya bakal tampil dalam pergelaran 24 Jam Perdikan Gede Sala di halaman Museum Radyapustaka, Jl. Slamet Riyadi No. 276, Solo, Jawa Tengah, Senin-Selasa (16-17/2/2015).
Secara bergantian mereka akan tampil dalam dua sesi pergelaran seni itu. Sesi pertama 24 Jam Perdikan Gede Sala diselenggarakan Senin pukul 18.00 WIB-00.00 WIB, sedangkan sesi kedua dijadwalkan Selasa pukul 06.00 WIB-18.00 WIB. Pergelaran seni dan budaya itu bakal diisi dengan pembacaan puisi, joget, santiswaran, macapat, melukis, bermusik dan sebagainya.
Beberapa seniman yang bakal tampil, seperti Suprapti Suryodarmo, Janthit SK, Gigok Anurogo, Galih Nagasena, Sitras Anjilin, Pien Wiyatno, Bandung Mawardi, Romdhon, Djator B. Darsono dan sebagainya. Sejumlah seniman dari luar Soloraya dan luar negeri, seperti Daeng Misbach (Selayar), Sulfiana (Makassar), Karolina Nieduza (Inggris), Bojana (Serbia) dan Anna (Spanyol) juga bakal tampil mengisi pergelaran.
Seniman sekaligus budayawan asal Kota Bengawan, Suprapto Suryodarmo, mengatakan pergelaran seni dan budaya itu digelar untuk lebih mengenal lagi sejarah Kota Solo. Bicara tentang sejarah Kota Solo, sambung Suprapto yang akrab disapa Mbah Prapto, tak lepas dari Ki Gede Sala.
“Solo itu berasal dari Desa Sala yang sudah sangat tua. Desa ini termasuk tanah perdikan, jadi tidak berada di bawah kekuasaan raja. 200 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, Desa Sala sudah ada,” kata Mbah Prapto saat ditemui Espos.id di kompleks Museum Radyapustaka, Minggu (15/2/2015).
Saat Indonesia merdeka, sambung Mbah Prapto, status tanahnya berubah menjadi hak milik pemerintah Republik Indonesia. Bertolak dari sejarah tersebut, pergelaran seni 24 jam Perdikan Gede Sala, ini sebenarnya adalah nunggak semi atau awal mulanya adalah tanah perdikan.
Mengapa Radyapustaka? Pemilihan lokasi pergelaran di sekitar Museum Radyapustaka juga tidak asal-asalan. Di dalam Museum Radyapustaka itu tersimpan artefak sastra pujangga besar Ronggowarsito. Sumber dari berbagai serat, seperti Serat Centhini, Babat Jawa dan sebagainya, bersumber dari artefak kuno yang tersimpan di Radyapustaka ini.
“Para seniman dan budayawan ini mencoba menghidupkan kembali peranan museum sebagai pusat kebudayaan masa depan. Selama ini museum hanya dilihat sebagai masa lalu. Padahal Kota Solo yang kini menjadi kota metropolitan ini juga punya akar sejarah dari masa silam,” tarang Mbah Prapto.
Pegiat Mitra Museum Community, Teguh Prihadi, mengatakan saat ini museum bukan lagi sebagai tempat belajar, tapi dianggap sebagai barang mati. Seharusnya dari museum Radyapustaka yang berisi artefak kuno ini, sudah banyak dihasilkan jutaan buku.
“Museum Radyapustaka ini sudah mirip seperti candi. Bukan karena isinya semata, tapi bangunannya juga termasuk cagar budaya. Diharapkan dari Radyapustaka ini bisa memunculkan museum baru di Kota Solo,” ungkap Teguh.